Kenalkan, namanya Logika.
Dia yang menemani aku selama ini sementara Hati melanglang buana. Logika ini
sungguh baik padaku. Perhatiannya tulus. Selalu kunantikan pesan-pesan darinya.
Aku tahu ia pasti akan mengucapkan hal-hal yang menenangkanku. Tak jarang
Logika turut menguatkan aku.
Besar jasa Logika padaku.
Aku bersyukur bisa bersamanya tiap hari. Memang tidak secara langsung kami
mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Tapi aku selalu terkesima setiap kali
Logika menyapaku dengan kata-kata lembutnya.
Tidak hanya itu, Logika
juga seringnya membuat aku tetap menginjak bumi. Kala impianku membumbung
tinggi di angkasa, Logika memegang tanganku dan menyadarkan bahwa aku masih
harus tinggal menapak tanah. Ketika apa yang kuinginkan tidak sesuai dengan
standar dunia ini, Logika membantuku untuk tidak depresi dan tetap berharap.
***
Kenalkan juga, namanya Hati. Dia menaruh berjuta rasa dalamku.
Kalau aku tersenyum, itu pasti karenanya. Walau pernah juga kudapati diriku
menangis karena sesuatu yang dilakukannya. Atau bahkan yang tidak dilakukannya
terhadapku.
Hati ini tidak sering
bersamaku. Kini ia berada jauh dari hadapanku. Aku selalu sedih jika
mengingatnya. Tapi itu berada di luar kuasaku.
Karena terpisah, tak
banyak yang bisa dilakukan Hati untukku. Berbeda sekali dengan Logika. Namun
percayalah, Hati selalu ada dalam rencana masa depanku. Mungkin itu karena
kharismanya yang luar biasa.
Aku tak bisa berhenti
kagum pada Hati. Aku rasa semua orang setuju dengan pendapatku. Ia ramah lagi
pemurah. Tak banyak bicaranya, tapi sekali ia berkata, untaian kalimat penuh
makna akan keluar dari mulutnya. Hati ini memang dahsyat.
Hati yang yakinkan aku
untuk terus bermimpi. Dunia, katanya, bisa berada di genggamanku kalau aku mau.
Dengan persetujuan Yang Maha Kuasa tentunya. Hati terus mendorongku untuk tidak
berhenti pada apa yang dunia tawarkan. Masih banyak hal lain lagi yang bisa
kugapai, katanya. Sungguh dia senantiasa membuatku terpesona.
***
Si Hati dan Si Logika boleh punya jalan
masing-masing. Maka mari kita lihat bagaimana mereka masing-masing bersikap
ketika jatuh cinta. Jatuh cinta boleh disertai tindakan-tindakan konyol, atau
ditutup-tutupi dengan beragam teori untuk meredakan gemuruh di hati. Keduanya
boleh berada di dua kamar yang berbeda. Tak perlu lah aku bersusah-susah
mengumpulkan mereka di sisi yang sama.
Tuan Sam dari negeri para
penulis boleh berprinsip, sebaik-baiknya penulis ialah penulis yang sanggup
memadu hati dan logikanya dan mentransfer isi keduanya menjadi tulisan yang
bernas dan menggugah perasaan. Tapi, sepucuk surat cinta yang isinya ungkapan
hati semata ternyata bisa membawa dua sejoli ke pelaminan. Atau kebijakan
pemerintah yang sama sekali tak ada hubungannya dengan isi hati, ternyata tetap
dijalankan, meski dengan resiko rakyat semakin melarat.
Aku pun tak meminta Hati
dan Logika untuk terus-menerus berjalan beriringan. Kadang ketika mereka berada
di persimpangan hingga aku membuat keputusan “simalakama”, aku tak menyesal
jika harus mendahulukan salah satu dari keduanya. Dan sebagai perempuan, ku
akui, seringnya aku pilih kasih dan memenangkan Hati jika keduanya sedang
bertengkar di dalam diri. Toh, Logika tidak lantas marah-marah. “Kau boleh
pilih dia, tapi Logika dari orang sebelahmu jangan kau abaikan,” begitu saja
Logika pasti berkata.
Bukan hidup yang terlalu
brengsek yang membuatku sempat memaksakan keduanya berada dalam bingkai foto
yang sama. Kini mereka boleh punya bingkainya masing-masing, dengan pilihan model
atau warna yang berbeda. Bukanlah masalah besar bagiKu sekarang ini. Terkadang,
perbedaanlah yang membuat kita bersatu, karena kita butuh pelengkap. Jadi,
kalau Hati sudah mulai tak masuk akal dan berjalan tak menentu, aku akan
melepaskan Logika dari kandangnya. Ia pasti menyegerakan untuk menunjukkan pada
Hati jalan mana yang benar. Begitu juga, ketika Logika sedang berlaku buas,
akan kukeluarkan Hati dari kotak mungil berwarna merah muda, dan Hati akan
membujuk Logika untuk tidak terlalu ganas. Sebab Hati selalu tahu ke mana ia
harus berlabuh.
***
Pertanyaannya
bukan lagi apakah aku harus memilih Hati atau Logika. Kini, aku lebih suka
mengambil makna dari keduanya. Menguji Hati dan Logika, sampai aku sadar, dari
yang katanya terbaik dalam pandangan manusia, masih ada yang lebih baik menurut
Yang Kuasa.
Bagaimana dengan hati dan
logikamu, kawan?