Holaaaaaaa..
Kemana saja
belakangan ini?
Saya sudah
kemana-mana. Ok, ini lebay!
Lama sekali
tidak menulis blog. Dua minggu yang lalu, tgl 27 April-1 Mei kemarin akhirnya
saya mengangkat ransel saya lagi setelah sekian lama tidak melakukan travelling
kemana-mana (akibat sok-sakit dan emang bokek).
Dan pilihan
saya jatuh kepadaaaaaa... jreng65432x.. Bali!! Oke, saya memang sangat
orisinal. Ini mungkin tempat yang hampir semua orang pernah kunjungi. Di saat
orang-orang liburan ke Australia, Israel, dan Arab, saya malah baru ke Bali
dengan bangganya. Eit, tapi mari lihat lagi judul postingan ini, "Makan,
Berdoa, dan Jatuh Cintalah pada Negeriku!" Negeriku, Indonesia, wahai para
pembaca. Kalau kalian sudah pernah ke sana, tolong berpura-puralah tertarik.
Kali ini saja. Saya akan sedikit bercerita tentang
kisah-tidak-klise-yang-mengharukan selama di sana. Saya sudah berusaha keras
kok agar tidak terdengar seperti brosur perjalanan atau "planet
kesepian" yang merupakan buku panduan merangkap primbon yang sudah
kebanyakan dipakai dan dimaki-maki karna sudah menyesatkan orang entah ke
negeri antah berantah mana. Dan bersyukurlah, saya tidak mengalami 'Lost in
Bali' kemarin.
Perjalanan
ini diawali dari tiket yang sudah terlanjur dibeli setahun yang lalu, Air Asia
CGK-DPS untuk tiga orang, an. Satria Anggaprana, Fitri Widiana, dan Grace
Hasibuan PP tgl 27 dan 30 April 2013. Sekali lagi, kenapa harus Bali? Karena
itu adalah tiket termurah yang bisa kami temukan. Seandainya kemarin tiket
termurahnya ke Palestina ya pasti kami kesana. Dan kenapa tanggal segitu? Akhir
bulan dan tidak ada libur kejepit di tengahnya. Jujurly speaking, ini semua
gara-gara saya yang salah lihat tanggal, sodara-sodarah. Situs portal seven yg
geblek itu bilang kalo Good Friday jatuh tanggal 29 April 2013, dan lebih
begonya lagi tanpa babibu saya percaya saja padahal itu hari Senin. Ya sudah
lah. Apa lacur. Besok kita kursus Bahasa Inggris lagi
And guess
what? Liburan yang sudah direncanakan matang-matang dari setahun yang lalu
luluh lantak gara-gara saya gak lulus D4 dan belum menikah. Tidak seperti kedua
teman saya. Tepat sebulan sebelum keberangkatan. Berhubung saya pinter gombal
dan berbakat salesgirl, saya berhasil merayu dua orang teman saya, Nana dan
Elimar kembarannya Marimar untuk berangkat ke Bali menggunakan 2 tiket
gratis teman saya itu. Entah apa yang ada di pikiran kami kemarin, padahal di
KTP yang satu pakai kerudung, dan yang satunya lagi itu cowok.
Saya dan
kedua mantan sohib kosan saya itu dari dulu memang punya rencana travelling
bareng yang belum tercapai juga. Dan siapa yang sangka tercapainya malah
seperti ini. Big thanks buat Kajol dan Angga yang merelakan tiket dan KTP nya.
Sehingga PNS biasa seperti kami ini yang gajinya Cuma cukup buat hidup plus
bersenang-senang sedikit (makan enak, beli buku, beli hardisk untuk copy
film) bisa liburan bareng. Sekalipun terpaksa cuti. :/
Dan cerita
pun belum berakhir sampai di sini. Eng in eng..!! Entah mungkin kurang berbekal
doa dan puasa, perjalanan kami ternyata tidak mulus-mulus saja. Kayaknya
batasan antara cari petualangan dan cari bahaya itu beda tipis. Saya sudah
sering dengar tentang nasihat-nasihat seperti ini:
- Jangan bicara sama orang asing, nanti dihipnotis.
- Jangan pergi ke mana-mana sendiri nanti diculik alien kolor ijo.
- Pastikan kalau pergi jauh, ada yang menjaga kita. Kalau gak punya suami, ya paling tidak bawa teman se-RT. (Jangan bawa suami orang, bahaya!)
- Selalu kabari keluarga. Biar diridhoin, dan lagi kalau hilang, bisa cepat ketauan
- Pastikan segalanya aman, nyaman, terkendali, jelas, rapi, dan TERENCANA dengan baik, persis jaman Orde Baru
Tapi, gaya
emak-emak osteoporosis kayak gini bikin saya pengen cepat-cepat ngasih surat
wasiat. Dalam hal bepergian, model armchair
traveller menurut saya, tak ubahnya dengan duduk diam di rumah sambil
nonton DVD Bollywood. Ah, tolonglah, kerjaan saya sudah kelewat aman dan
tenteram. Saya perlu sedikit kejutan. *Alesaaaan. Tapi memang teman saya sering
bilang, saya suka nekad dan cari bahaya. Berkali-kali jadi EO jalan-jalan,
berkali-kali juga jantung teman-teman saya seperti naik rollercoaster. Gak nyaman di lambung dan bikin degdegan. Begitu pun
kali ini. Bayangkan saja, malam sebelum keberangkatan, saya baru mengabari
teman saya, untuk menjadi tour guide
dan mencarikan hotel murah.
“Gue mau
jalan ke Bali besok, bareng Eli dan Nana” –BBM delivered
“APAAAHH??Besok??” *kamera
zoom in zoom out*
“Yang kau
kiranya ke Bali itu kayak mau ke Siantar ya, seenak jidat. Gimana kalau aku gak
bisa?” –Rihard, 25 tahun
“Aku juga
mau ke Bengkulu besok ah!” –Sappe, sudah tua masih keong racun
“Gue
doain lo nyampe dengan selamat, GAK BERBUAT ONAR, balik juga selamat” –Odeng,
KPPN Amlapura
Akhirnya
tibalah hari yang dinanti-nanti. Dengan lancar bisa tiba di bandara 2 jam sebelum keberangkatan. Udah check-in.
Udah cakep. Dan juga udah pasang tampang sok yess.
Lokasi :
Loket boarding pass dan airport tax Air Asia. Antrian panjang. Dengan seorang
mbak petugas Air Asia, sebut saja Bunga
Grace : *maju terdepan, nunjukin 3 KTP, dan 3
boarding pass*
Bunga : *menatap misterius* Mbak Fitri mana?
Elli : *tampang
sok iya* Saya, mbak
Bunga :
Alamatnya dimana?
Grace :
Grobogan mbak *Eli masih bingung*
Bunga :
Tanggal lahir?
Grace : 20
Mei 1989
Bunga :
*makin bingung* yang Diana yg mana sih? Jilbabnya mana? Satria mana?
Jangan-jangan yang ini juga bukan Grace yang
asli? *%76&(*@57;)^$/*
*serempak
kebakaran jenggot*
Mission
failed! Untungnya kami tidak langsung frustasi dan kehabisan ide. Berhubung
saya dan Elli sudah cuti 3 hari dari dusun tercinta yang jauh di sana, masa iya
5 hari dihabiskan sia-sia di Jakarta? Mending muka ditaruh di bokong aja deh
daripada malu ke khalayak ramai gara-gara gagal liburan. Jakarta sama sekali
bukan kota favorit saya kecuali untuk mall-mallnya (kata Eli). Ah, saya pun
begitu, alasan saya dulu belum rela meninggalkan Jakarta cuma karena ada
seseorang di sana. #eeaaaa #curhatsambilngupil. Tapi itu duluuuu,
sodara-sodarah.
Opsi lain
adalah berlibur ke rumah Nana di Salatiga, naik kereta api malamnya, demi ingin
mengurangi emisi CO2 dan memperkecil budget. Terkatung-katung di
bandara, menghitung budget masing-masing, tanya sana sini tiket termurah ke
Bali, dan tidak tega membuat orang tua Nana hipertensi karena harus menanggung
malu dan makan dua anak gadis orang di rumahnya, maka dengan biaya
seminim-minimnya, kami tetap berangkat ke Bali. Bodoh? Enggak sih. Nekad? Iya!
Gak perlu lah ya saya publish di sini berapa harga tiket kami saat itu, dan
gimana raut wajah kami kemarin, terutama raut wajah Nana yang paling terjebak
dalam hal ini. (PS for Nana: Na, bersyukurlah, kalau gak bareng kami, kapan
lagi kan kamu dapet pengalaman ngehe kayak gini?)
Selama 2
jam di pesawat tidak banyak yang bisa saya ceritakan. Tapi begitu pesawat
mendarat di Bandara I Gusti Ngurah Rai, saya turun bak pramugari minus baju
rapi, tas keren, dan rambut disanggul. Apalagi bila dibandingkan dengan bule
keren yang seliweran, baju saya malah lebih mirip orang-orangan sawah, tas
ransel yang belum dicuci 2 tahun, dan rambut baru bangun tidur, tidur lagi.
Dari kejauhan tampak kak Rihard, Nana, dan Eli menanti dengan tidak sabar
sambil membawa kertas bertuliskan “GRACE”. (Kenapa Nana dan Eli bisa tiba
duluan?) Rasanya saat itu ingin saya melambai-lambai sambil bilang, “Hallo,
saya Duta Pariwisata Bengkulu”
Malam
pertama kami habiskan mengelilingi Kuta. Hiruk pikuk Kuta mulai terasa begitu
turun dari taksi. Bule is everywhere.
Di sinilah pusat kehidupan malamnya Bali. Keliling Kuta dengan membawa ransel
di punggung bikin kami gagal tepe-tepe di depan bule. Bukannya keren, tapi
lebih mirip kura-kura. Sepanjang jalan, saya cuma bisa berdoa semoga sendal
jepit saya gak putus tiba-tiba, dan betis saya tidak meledak. Tadinya sih berencana
menginap di Kuta. Karena dekat bandara, banyak hotel murah, dan ada banyak pub
dan bar di sana. Biar dibilang resmi gaul, boleh lah ya punya niat nyobain pub
nya sekali, mumpung di Bali? Saya janji cukup mesan bandrek aja kok nanti, gak
macem-macem. Yakali dapat kenalan bule. Dibawa keluar negeri, gak perlu lagi
meriksain SPM. Tapi apa lacur, karena menyadari kantong kami yang udah
megap-megap, kami menerima tawaran menginap di rumah kosan Duma di Denpasar,
teman SMA saya, yg saya juga baru tahu kalau dia sudah bekerja di Bali. Berenam
dengan 3 motor, sebelum ke kosan Duma, kami capcus makan malam dengan menu nasi
opor. Saya kira ada opor beneran, ternyata ayam disuwir-suwir, dikasih kuah
opor encer, sedikit. Menu apa macam ini?
Saya
sebenarnya sangat berharap begitu tiba di kos Duma nanti bisa langsung nempel
di kasur. Dan bayangkan betapa shocknya kami, ternyata isi kosannya adalah
orang-orang Perkantas. Kami duduk, kenalan, ngobrol, kemudian BERDOA. Iya, berdoa. Sesuatu yang
seringnya jarang saya lakukan untuk mengawali suatu travelling. Betapa
menohoknya. Karena doanya kak Nara, itu lah yang membuat perjalanan kami terasa
amat sangat manis dan indah. Terimakasih kak Nara. Terimakasih penghuni “yang
katanya Ruper”. Terimakasih Mama Lemon *Loh?
Entah
mengapa seumur-umur, saya merasa ini adalah travelling saya yang paling rohani.
Bagaimana tidak? Didoakan, diajak ke gereja hari Minggunya, berkenalan dengan
anak Sola Gracia Perkantas, dan MAKAN babi
guling. Dikit-dikit makan. Dikit-dikit ba*i. Dan dikit-dikit melotot melihat
tagihannya. Selesai makan pagi dan siang yang dirapel, kami menyewa motor 24
jam seharga 60 rebong. Dengan tiga motor, kami pawai keliling Bali. Naik motor
seharian dengan kondisi matahari di Bali yang mungkin ada dua itu rasanya
benar-benar awesome (baca: asem). Jadi kalau kulit saya dan teman-teman
terbakar matahari, itu sumprit bukan karena kami berjemur. Gak masuk akal kan
jauh-jauh berjemur ke Bali, orang di rumah aja kita udah bisa jemur kerak nasi
sampe renyah. Inilah pengorbanannya kalau ingin keliling pulau dengan biaya
ringan!
Rute hari
itu rasanya banyak sekali. Sanur. Garuda Wisnu Kencana. Pantai apa namanya saya
lupa, ada ressortnya, pernah masuk kok di Rekreasi Azis Nunung. Uluwatu.
Jimbaran. Ah, rasanya saya tidak perlu lah banyak celoteh lagi. Bisa lihat
sendiri album foto-foto kami kan?
Sappe, sang fotografer, gayanya aja yang banyak, hasil jepretannya? Nope |
Menantang ombak |
Footprints in the sand |
Mau berenang aja kudu mendaki dulu |
Ini ressort yang saya bilang tadi. Keren! Ada gondolanya. Tapi kita lebih memilih mendaki gitu biar sehat |
0 komentar:
Posting Komentar