“For you and all those people who said there’s
other fish in the sea, here’s a question… What if you’re stuck in a pond?”
Langsung saja:
apakah anda setuju pada perjodohan atau tidak setuju?
Kata pepatah
lama: asam di gunung, garam di laut, bertemunya di belanga. Saya yakin mereka
bicara tentang perjodohan (bukan cara masak sayur asem deh kayaknya).
Djaman doeloe?
Jadi ketinggalan jaman? Eits, nanti dulu. Jaman kuda gigit besi perjodohan
diperlukan karena jarak yang susah ditempuh (masa mau ngapel harus naik kuda
dulu 3 hari 3 malam?), wanita yang selalu tinggal di rumah (ingat Ibu kita
Kartini yang dipingit? Atau Rara Mendut? Atau Malin Kundang? *eh ini bukan ya*)
dan tentu saja karna belom ada facebook/blackberry messenger/ twitter/ whatsapp/
path/ instagram/miRc (*masih ada yang pake ini?) dan socmed-alay-lainnya.
Jaman sekarang,
perjodohan masih dilakukan justru akibat tidak sempat bersosialisasi! Para
lajang di New York melakukan pesta lajang yang disebut ‘eye-gazing party’
dimana para tamunya duduk berhadapan dengan lawan jenisnya selama 1 menit,
saling melihat hanya untuk merasakan apakah diantara mereka ada ‘chemistry’.
Ini belom
termasuk iklan baris dan website matchmaking.
“P/26th
mencari W. Lajang. Menarik. Pinter masak, bersih-bersih rumah dan nyuci.
Pembantu soalnya lagi pulkam,”
“W/27
th, lajang gemar dangdut. Cari P yang jenggotnya mirip Rhoma,”
“W/55
th/janda. Mencari P/sebaya/duda. Dulu suami saya keren, sexy dan foto model.
Sekarang yang penting tidak encokan, tidak kentut sembarangan dan tidak alergi
pampers.”
“P/30 th. Bankir. Mencari akuntan yang bisa
diajak merger.”
“P/29
th. Maniak bola dan dugem cari W/sebaya yang rumahan dan bisa main catur/PS2″
“P/25th/sarjana
komputer. Cari W/dibawah 20th yang bootingnya gak lama”
“W/25
th suka bepergian. Mendamba P/dibawah 35th yang punya pesawat jet pribadi”
“P/30th/pasrah
sempurna nikmat penuh ga dapet-dapet W, jadi yang P juga gak apa-apa. No
spesific criteria needed.”
Intinya,
perjodohan hanyalah memperluas lahan pencarian. Kalau kerjaan kita itu-itu saja,
berkutat dari jam setengah 8 sampai jam 5, pulang, nonton TV dan tidur, kapan ketemu
teman kencannya?
Jadi, networking
alias dikenalin ama temen, tante, tetangga, atau iparnya sepupu kedua dari
paman menantu adek ya bisa dicoba lah. Apa salahnya menambah ‘jaringan’?
Mungkin dengan begini, kita bisa ‘mengaudisi kontestan’ lebih banyak dan
mendapat yang terbaik.
Tapi, apa efek
sampingnya?
Ada teman saya (atau
saya? Maap, bukan saya kok), sebut saja Cinta (25) yang selama setahun belakangan
dikenal-kenalin Emaknya ke pria-pria lajang yang diketahuinya lewat koneksi
sebagai ibu rumah tangga yang ekstensif. Bukannya cepet dapet pacar, Cinta
justru jadi ketemu dengan cowok-cowok super garing dan nggak nyambung berat.
Karena pria-pria ini, menurut Cinta, bersikap ‘pasti
cewek ini mau karena Emaknya aja sudah desperate gitu’.
Dengan kata
lain, sistem ini bikin cewek jadi dilabeli ‘nggak laku
dan hampir kedaluwarsa. Diskon 70%! Cuci gudang!’. Nggak separah itu sih
emang, tapi entah secara sadar atau tidak, si cowok terkesan PeDeKaTenya terburu-buru,
dan kalau salah satu tidak tertarik, si cowok berpikir “Dia
aneh sih. Pantesan selama ini belom dapet pasangan,”.
Ada juga efek
samping yang lebih ringan tapi pasti terjadi dalam setiap perjodohan: kecanggungan.
Karena tidak bertemu dalam situasi normal (kerja, sekolah, klub kebugaran, di
tempat ibadah, dan sebagainya), maka dua orang yang dijodohkan atau dikenalkan
akan bersikap kaku, berlebihan atau setengah mati salah tingkah kalo ternyata
yang dikenalin ‘berprospek’. Kita
jadi ekstra hati-hati dalam bersikap dan cenderung tidak wajar, nggak apa
adanya. Kita juga akan menilai orang tersebut dengan standar kita sendiri.
Ngomong-ngomong
soal penilaian, perjodohan juga ajang penjurian yang tidak adil. Jujur saja
deh, kalo kita sudah naksir berat sama seseorang, mau dia garuk-garuk ketek
atau ngupil pake jempol kaki ya semuanya tetap mempesona. Betul kan, iya kaaan,
ngaku deeeeh?
Kita sama
sekali tidak bisa objektif dalam hal cinta.
Masalah dalam
perjodohan adalah: kita menilai potensi untuk menjadi pasangan dari orang yang
tidak kita kenal.
Seperti pepatah
(lagi) bilang, tak kenal maka tak sayang. Maka kecenderungan untuk menilai
seorang yang dikenalkan adalah menilai dia dari label-labelnya. Melihat
orangnya.
Sialnya, kalau orang ini sebenernya baik dan keren tapi kebetulan
lagi lupa beli pisau cukur atao deodoran, ato PAMnya lagi macet sehingga gak
bisa mandi or PLN lagi mati listrik sehingga pake bajunya terbalik ato nggak
matching blas, rusaklah susu sebelanga! Kalo kesan pertama sudah tidak begitu
menggoda, dia salah belahan nyisir rambut aja bisa jadi masalah.
‘Dikenalkan’
memang nggak ada salahnya. Sama seperti pekerjaan dan semua kesempatan
hoki-hokian yang lain, terkadang ‘koneksi dan kenalan’ akan sangat amat
membantu. Lagipula, kita tidak pernah tahu dimana bakal ketemu jodoh, lewat
orang lain itu pun namanya juga takdir. Dunia juga makin sempit sejak
ditemukannya internet sebagai keajaiban dunia ke-8.
Tapi jujurly
speaking saja ya, saya ini type wanita yang ingin cari pasangan dari orang yang saya kenal kesehariannya, yang kita tahu watak baik-buruknya, kebiasaannya,
kesukaannya, dirinya yang sebenarnya. Yang bukan cuma display saat kita
‘dijodohkan’. Aaaahhh...
Apa pendapat
teman-teman? Apakah memacari orang dekat adalah skenario terbaik untuk mencari
jodoh?
Konon katanya pepatah (lagi), kadang-kadang kita sibuk nyari yang
jauh-jauh, padahal sesungguhnya dia ada di dekat kita.*eeeeaaaaakkk
Nah, bagaimana
kalau pergaulan kita sendiri terbatas?
Memang banyak
ikan lain (bahkan paus dan cumi) di Samudera Atlantik...
tapi bagaimana
kalau kita terjebak dalam aquarium hias?