Pengantar:
02:39 PM menurut laptop; di hari terakhir berlibur di rumah, di saat saya sadar betul bahwa saya harus segera berkemas, tapi justru nyaris tidak melakukan apa-apa sejak pagi, kecuali menulis ini. Tidak apa-apa, kan, kalau untuk kali ini saya berharap dimaklumi? Namanya juga liburan. Dan entah kenapa, ingatan saya melayang pada kejadian di pertengahan tahun 2011 yang telah berlalu kemarin..
“Aku dapet Bengkulu Selatan, Manna, tanggal 20 ini harus sudah di sana,” kata saya tergesa, Jumat sore itu.
“Nak, kamu bohong!” kata sang ibu di ujung telepon.
“Aku juga berharap ini bohong….”
Ada yang menjerit. Ada yang hanya termangu. Ada yang menutupkan tangannya ke bibir sembari menahan air matanya. Ada yang bertepuk tangan riuh. Ada yang langsung menelepon kawan dekatnya yang ada di jauh. Saya sendiri memilih mencari cara lain: merekam momen itu, walaupun hasilnya rasa gugup tetap tidak bisa terhindari, sampai-sampai tangan saya yang sedang memegang ponsel bergetar hebat sekali.
Saya masih ingat benar. Sejak sekitar bulan April 2011, saya rajin bertanya ke siapa saja, “Kapan kita penempatan?”. Bukan karena saya takut atau tidak siap, melainkan karena saya mengharapkannya segera datang. Jadwal magang yang ternyata diperpanjang lagi hingga Juli membuat saya sedikit kecewa. Apalagi ketika menurut analisis teman-teman, kami baru akan disebar setelah diklat prajabatan dan lebaran.
Penempatan menjadi sesuatu yang saya nanti-nanti. Dan keinginan ini bukanlah keinginan maju-mundur, yang hari ini saya ingin segera penempatan lalu besoknya sebaliknya.
10 Juni 2011. Tepat di hari ULANG TAHUN saya yang ke-22 tahun. Saya rasa 230-an orang yang berkumpul di aula kemarin tidak akan pernah lupa tanggal ini. Ada sambutan Pak Ludiro yang menurut saya prolognya bagus sekali, tidak memberi celah untuk menebak ujungnya beliau mau bicara apa. Baru di tengah sampai menjelang ganti pembicara, ada kalimat-kalimat “Tujuh bulan magang saya rasa sudah cukup…,” “Anda semua adalah tulang punggung…,” “… lebih baik segera ditempatkan…,” “Kantor kita tersebar di seluruh wilayah Indonesia… tidak bisa seratus persen memenuhi keinginan semua pegawai…,” “… hampir tidak ada yang sendirian, ada teman, minimal dua orang…”.
Saya sengaja mencatat selengkap mungkin sambutan-sambutan bapak-bapak yang jadi pembicara. Bahkan penjelasan dari pegawai lain pun ikut saya catat. Namun, ternyata itu tidak berlangsung lama. Begitu sudah pasti dan para pegawai sudah membawa SK ke ruangan, saya tidak bisa mencatat apa-apa lagi. Catatan saya di halaman berikutnya bersih.
Akhirnya saat ini tiba. Saat-saat yang selalu saya tanyakan kapan datangnya sejak beberapa bulan lalu. Saat-saat yang menurut analisis versi obrolan magang diprediksi masih lama datangnya, tapi ternyata datang lebih cepat dari yang diduga. Saat-saat yang seumur hidup baru ini saya alami, dan ternyata rasanya luar biasa.
Tak Disangka: Manna
Surat sakti bernama SK Penempatan yang saya terima sore itu menunjukkan bahwa saya ditempatkan di Manna, sebuah kabupaten di sisi selatannya Bengkulu,propinsi yang bentuknya memanjang seperti seorang putri tertidur itu.
Daerah ini sama sekali tidak termasuk empat kota yang saya pilih di poling penempatan. Namanya bahkan baru saya tahu ketika saya membuka SK. Lalu, saya menyesalkannya? Sama sekali tidak. Saya bersyukur bahwa kesadaran saya terkumpul baik saat itu sampai saat ini, sehingga tidak ada rasa semacam ketakutan atau bahkan penolakan. Saya pun sadar betul bahwa di sana nanti akan sama sekali berbeda dari Jakarta.
Jakarta, dengan segala kejamnya sudah memberi saya banyak sekali teman dan cerita. Di sini segala ada. Dari anak kecil dekil yang tiap malamnya tidur di jembatan penyeberangan tanpa alas dan telanjang kaki, sampai mereka yang tidak bisa tidur jika pendingin ruangan di kamarnya mati. Dari peminta-minta di metromini, penjambret yang dengan saktinya bisa lari kencang membelah lautan kendaraan yang rebutan jalan, sampai mereka lulusan universitas terkemuka yang mau memberi kuliah cuma-cuma. Dari pedagang yang dengan nekatnya jualan di rel kereta, sampai mereka yang punya merek produk yang hanya dijual di mal pusat kota. Ah, Jakarta akan menyita puluhan paragraf kalau saya harus menuliskannya, dan memang ia lebih baik dituliskan di judul tersendiri.
Dari Jakarta ke Manna , pasti akan ada banyak sekali yang berbeda. Namun, saya ingat pernah berniat, bahwa di mana pun saya nanti, saya ingin sekali menulis sebanyak-banyaknya tentang tempat itu. Semata hanya: agar tidak ada lagi anak-anak muda yang merasa ketakutan (ketakutan tidak bisa dipersamakan dengan perasaan gugup karena penasaran) ketika harus bertugas di belahan lain di tanah airnya. Semoga itu tak terlalu muluk…
02:39 PM menurut laptop; di hari terakhir berlibur di rumah, di saat saya sadar betul bahwa saya harus segera berkemas, tapi justru nyaris tidak melakukan apa-apa sejak pagi, kecuali menulis ini. Tidak apa-apa, kan, kalau untuk kali ini saya berharap dimaklumi? Namanya juga liburan. Dan entah kenapa, ingatan saya melayang pada kejadian di pertengahan tahun 2011 yang telah berlalu kemarin..
“Aku dapet Bengkulu Selatan, Manna, tanggal 20 ini harus sudah di sana,” kata saya tergesa, Jumat sore itu.
“Nak, kamu bohong!” kata sang ibu di ujung telepon.
“Aku juga berharap ini bohong….”
Ada yang menjerit. Ada yang hanya termangu. Ada yang menutupkan tangannya ke bibir sembari menahan air matanya. Ada yang bertepuk tangan riuh. Ada yang langsung menelepon kawan dekatnya yang ada di jauh. Saya sendiri memilih mencari cara lain: merekam momen itu, walaupun hasilnya rasa gugup tetap tidak bisa terhindari, sampai-sampai tangan saya yang sedang memegang ponsel bergetar hebat sekali.
Saya masih ingat benar. Sejak sekitar bulan April 2011, saya rajin bertanya ke siapa saja, “Kapan kita penempatan?”. Bukan karena saya takut atau tidak siap, melainkan karena saya mengharapkannya segera datang. Jadwal magang yang ternyata diperpanjang lagi hingga Juli membuat saya sedikit kecewa. Apalagi ketika menurut analisis teman-teman, kami baru akan disebar setelah diklat prajabatan dan lebaran.
Penempatan menjadi sesuatu yang saya nanti-nanti. Dan keinginan ini bukanlah keinginan maju-mundur, yang hari ini saya ingin segera penempatan lalu besoknya sebaliknya.
10 Juni 2011. Tepat di hari ULANG TAHUN saya yang ke-22 tahun. Saya rasa 230-an orang yang berkumpul di aula kemarin tidak akan pernah lupa tanggal ini. Ada sambutan Pak Ludiro yang menurut saya prolognya bagus sekali, tidak memberi celah untuk menebak ujungnya beliau mau bicara apa. Baru di tengah sampai menjelang ganti pembicara, ada kalimat-kalimat “Tujuh bulan magang saya rasa sudah cukup…,” “Anda semua adalah tulang punggung…,” “… lebih baik segera ditempatkan…,” “Kantor kita tersebar di seluruh wilayah Indonesia… tidak bisa seratus persen memenuhi keinginan semua pegawai…,” “… hampir tidak ada yang sendirian, ada teman, minimal dua orang…”.
Saya sengaja mencatat selengkap mungkin sambutan-sambutan bapak-bapak yang jadi pembicara. Bahkan penjelasan dari pegawai lain pun ikut saya catat. Namun, ternyata itu tidak berlangsung lama. Begitu sudah pasti dan para pegawai sudah membawa SK ke ruangan, saya tidak bisa mencatat apa-apa lagi. Catatan saya di halaman berikutnya bersih.
Akhirnya saat ini tiba. Saat-saat yang selalu saya tanyakan kapan datangnya sejak beberapa bulan lalu. Saat-saat yang menurut analisis versi obrolan magang diprediksi masih lama datangnya, tapi ternyata datang lebih cepat dari yang diduga. Saat-saat yang seumur hidup baru ini saya alami, dan ternyata rasanya luar biasa.
Tak Disangka: Manna
Surat sakti bernama SK Penempatan yang saya terima sore itu menunjukkan bahwa saya ditempatkan di Manna, sebuah kabupaten di sisi selatannya Bengkulu,propinsi yang bentuknya memanjang seperti seorang putri tertidur itu.
Daerah ini sama sekali tidak termasuk empat kota yang saya pilih di poling penempatan. Namanya bahkan baru saya tahu ketika saya membuka SK. Lalu, saya menyesalkannya? Sama sekali tidak. Saya bersyukur bahwa kesadaran saya terkumpul baik saat itu sampai saat ini, sehingga tidak ada rasa semacam ketakutan atau bahkan penolakan. Saya pun sadar betul bahwa di sana nanti akan sama sekali berbeda dari Jakarta.
Jakarta, dengan segala kejamnya sudah memberi saya banyak sekali teman dan cerita. Di sini segala ada. Dari anak kecil dekil yang tiap malamnya tidur di jembatan penyeberangan tanpa alas dan telanjang kaki, sampai mereka yang tidak bisa tidur jika pendingin ruangan di kamarnya mati. Dari peminta-minta di metromini, penjambret yang dengan saktinya bisa lari kencang membelah lautan kendaraan yang rebutan jalan, sampai mereka lulusan universitas terkemuka yang mau memberi kuliah cuma-cuma. Dari pedagang yang dengan nekatnya jualan di rel kereta, sampai mereka yang punya merek produk yang hanya dijual di mal pusat kota. Ah, Jakarta akan menyita puluhan paragraf kalau saya harus menuliskannya, dan memang ia lebih baik dituliskan di judul tersendiri.
Dari Jakarta ke Manna , pasti akan ada banyak sekali yang berbeda. Namun, saya ingat pernah berniat, bahwa di mana pun saya nanti, saya ingin sekali menulis sebanyak-banyaknya tentang tempat itu. Semata hanya: agar tidak ada lagi anak-anak muda yang merasa ketakutan (ketakutan tidak bisa dipersamakan dengan perasaan gugup karena penasaran) ketika harus bertugas di belahan lain di tanah airnya. Semoga itu tak terlalu muluk…
0 komentar:
Posting Komentar