Pengantar: Salah satu karya jurnalistik yang akan saya kirimkan ke Media Center Perbendaharaan. Sampai sekarang belum berjudul. Sedikit merasa kesulitan bikin judul yang menarik. Dengan bahasa yang formal dan pembahasan yang agak serius, ini sulit, jendral!! Kan ini bukan blog. Sejenis Feature. Mbuh, feature apa namanya. Selamat membaca. Ditunggu kritik dan sarannya.
“Aku dapat Manna, KPPN
Manna. Tanggal 20 Juni ini sudah harus di sana.”
“Nak, kamu bohong. Di mana
itu?” terdengar suara kalut dari ujung telepon.
“Ya di Manna, bu. Aku juga
tak tahu. Aku juga berharap ini bohong. Tega sekali mereka memberikanku surat sakti
itu sebagai hadiah ulang tahun hari ini.”
Ingatan kembali melayang
pada kejadian tanggal 10 Juni 2011 silam. Tanggal yang tidak akan pernah
dilupakan oleh 230-an orang yang hadir saat itu. Ada yang menjerit. Ada yang
hanya termangu. Ada yang menutupkan tangannya ke bibir sembari menahan air
matanya. Ada yang bertepuk tangan riuh. Ada yang langsung menghubungi kawan
dekat dan keluarganya. Ada yang saling berjabat tangan dan berpelukan. Ada yang
lebih memilih merekam momen dengan tangan yang masih gugup gemetaran. Bahkan
ada yang bernyanyi lagu Piala Dunia yang telah diubah liriknya menjadi “Wamena-mena
e e waka waka tobi. O Manna Manna Saumlaki Tahuna Watampone…”
Membaca SK yang menjadi
titik balik hidup, melihat nama-nama kota asing yang tertera di sana, para
calon PNS Direktorat Jenderal Perbendaharaan itu hanya mampu tersenyum getir. Apa
yang ada di depan sana, tidak ada yang tahu. Siapa yang akan ditemui, tidak
juga ada yang tahu. Bagaimana bisa bertahan hidup dan sampai kapan akan ada di
sana, pun hanya Tuhan yang tahu. Yang mereka tahu adalah sebagai punggawa
keuangan negara harus bersedia ditempatkan di mana saja. Mereka, yang sering
dijuluki pegawai Direktorat Jenderal Paling Berbakti dan Kantor Penjaga
Perbatasan Negara tak membayangkan kalau itu hari terakhir bersama sebelum
tersebar ke seluruh penjuru di pelosok tanah air.
Kota baru, status
baru, tanggung jawab baru, teman baru, dan atasan baru. Sudah agak basi memang
mengatakannya baru ketika kini sudah hampir dua tahun menjalaninya.
Tapi, memang seperti itulah adanya, bagi saya, semua masih terasa baru. Saya
masih gamang, bahkan seringkali saya tergagap. Apa yang saya songsong, dan apa
yang saya tinggalkan tarik menarik menimbulkan kebimbangan. Saya terkadang lupa
hidup itu maju, dan masa lalu tertinggal jauh di belakang. Jelas saja, dari Jakarta ke
Manna, ada banyak sekali yang berbeda. Jakarta dengan segala kejamnya telah memberi begitu banyak teman dan
cerita. Mengutip
kata-kata Neale Donald Walsch, “Life
begins at the end of your comfort zone”, setapak demi setapak kehidupan
saya yang baru pun dimulai dari perjalanan menuju Bumi Rafflesia.
Pesawat yang membawa saya dari
Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta menuju Bengkulu terbang selama satu jam
perjalanan. Tidak ada perbedaan waktu antara Jakarta dan Bengkulu, tapi terdapat
banyak perbedaan rasa di antaranya. Sesaat setelah mendarat di Bandara
Fatmawati Soekarno, saya seperti turut merasakan romantisme pasangan Presiden
Soekarno dan Ibu Negara, Fatmawati. Entah mengapa saya merasa Jakarta dan
Bengkulu seperti berjodoh, nama bandaranya saja sudah sepasang begitu. Ah,
tidak, saya tidak sedang menggombal di sini.
Kota Manna yang terletak di
bagian selatan Provinsi Bengkulu ini harus ditempuh perjalanan darat selama 3 jam dari bandara. Jika melakukan perjalanan pada malam hari, tidak banyak yang bisa
dilihat dalam keadaan gelap sepanjang sisi jalan. Tapi jika perjalanan dilakukan
siang hari, mungkin akan terasa seperti sedang shooting film Anaconda. Hutan sawit, gunung, sawah, hutan karet, pantai, dan
sungai disuguhkan sepanjang perjalanan. Tidak seperti
jalanan di Pulau Jawa, jalanan
berliku dan berlubang-lubang memang menjadi ciri khas Pulau Sumatera. Mungkin
ini yang menjadikan orang Sumatera memiliki karakter keras dan berjiwa petualang.
Jangan berharap dapat
melihat bus atau angkot di Ibukota Kabupaten Bengkulu Selatan ini! Dan jangan ge-er dulu jika
melihat ada lelaki bermotor berhenti di depan anda sambil tersenyum mengatakan
“Ayu”! Tidak, dia tidak sedang menggoda, hanya seorang tukang ojek, yang
menawarkan jasa pengantaran ke mana saja dengan biaya Rp. 3.000. “Ayu” sendiri
bukan berarti paras yang ayu, hanya sebuah panggilan sopan untuk wanita. Yang paling mengagumkan,
sepanjang berkeliling kota, akan didapati dari mulai rumah mewah, rumah
sederhana, rumah batu, rumah papan, sampai gubuk pun terpasang parabola ataupun
televisi kabel. Dengan
jalanan tanpa macet membuatnya sangat jauh berbeda dari Jakarta. Nyaris tak ada debu polusi. Pernah sekali saya terlambat ke kantor
memang karena macet, tapi dengan jenis kemacetan
yang berbeda. Segerombolan sapi seringkali bebas lalu lalang menghadang jalan, entah milik
siapa.
Gedung-gedung
pencakar langit seperti yang ada di sepanjang Jalan Sudirman, Jakarta tidak
akan ditemui di Jalan Sudirman, Manna. Jalan dua jalur yang menjadi pusat
perkotaan ini sungguh tidak se-glamour
Jakarta. Kalaupun ada bangunan tinggi, paling hanya tiga lantai. Lantai paling
atas dipakai memelihara burung walet, yang menjadi mata pencaharian beberapa
penduduknya. Tidak ada bioskop. Tidak ada mall. Hanya toko-toko dan pasar. Membeli
satu baju di sini sama harganya dengan tiga baju di Tanah Abang. Di ujung jalan
ada taman yang biasa dikunjungi orang sore hari. Tampak anak-anak kecil berlarian. Ada
ibu-ibu yang sedang menyusui bayinya. Ada pengasuh yang sedang memberi makan
anak. Beberapa gadis ABG tertawa-tawa sambil merapikan poninya. Beberapa pemuda
sedang memeriksa motornya yang akan dipakai balapan pada malam harinya. Tak
luput juga dari perhatian, pasangan-pasangan yang duduk di sudut-sudut taman.
Di tengah Taman Merdeka Manna terdapat sebuah tugu yang disebut Monumen Manna. Sungguh
mirip Monas, tapi yang ini versi mini. Ah, rasa kangen pada Jakarta sedikit
terobati.
Sama kerennya
seperti mengatakan “gue-lo” di Jakarta,
“ambo-kaba” juga menjadi sapaan akrab
di sini. Hanya saja jangan katakan “kaba”
pada orang yang lebih tua jika tidak ingin dia tersinggung. Hingga kini,
kesulitan berbahasa masih saya alami. Untungnya, saya banyak belajar dari penduduk
sekitar. Orang Serawai, begitu mereka menyebut dirinya sebagai penduduk asli
Manna. Tak jarang juga saya menemukan orang Jawa, orang Padang, bahkan orang
Batak di sini. Mendengar mereka berbicara bahasa Serawai bercampur logat asli
suku sendiri seperti sedang merasakan indahnya Bhineka Tunggal Ika. Saya yang
dulunya tidak mengenal siapa-siapa di sini, berangsur-angsur mulai memiliki kenalan.
Mulai dari teman-teman kantor, satker-satker yang datang ke KPPN,
pegawai-pegawai bank, teman latihan tenis, hingga teman dari gereja tempat saya
ibadah setiap Minggu. Jelas saja, untuk beradaptasi dan dapat masuk dalam komunitas
terasa sulit di awal. Namun memang pada dasarnya, masyarakat Indonesia itu gemah ripah loh jinawi, sama halnya
dengan masyarakat di sini yang terbuka menerima orang baru. Saking eratnya
ikatan kekeluargaannya, kota ini dijuluki Bumi Sekundang Setungguan. Sekundang
setungguan dapat diartikan sebagai kebersamaan, persahabatan, dan kekeluargaan
ketika tinggal bersama. Ah, manis sekali. Saya yang dulunya hanya bisa menjawab
“au” yang artinya “ya” tiap ditanya
apapun, kini paling tidak sudah bisa bilang “enggup”
untuk menolak sesuatu. Pelafalan “e” jadi “i”, “r” menjadi “gh”, dan beberapa
kata ditambahkan “u” di ujungnya. Kini ketika ada yang berkata pada saya
seperti ini, “Gris, jak manau? Makan di
ghumah kudai au,” saya bisa mengerti. Walaupun untuk beberapa kasus,
seperti ketika ada satker datang ke kantor dan berbicara bahasa Serawai,
sekalipun sudah berkonsentrasi penuh mendengarkan, saya tetap tidak bisa
mengerti.
Di kota ini pula
lah saya pertama kali makan tempoyak, sambal yang terbuat dari durian. Sejak di
sini juga saya jatuh cinta pada pempek dan pindang patin, makanan khas
Palembang, yang juga banyak terdapat di sini. Wajar saja, mengingat daerah yang
dulu sempat dijajah Inggris ini, merupakan pemekaran dari Provinsi Sumatera
Selatan. Dari segi bahasa dan karakteristik wajah, keduanya masih satu rumpun.
Yang sangat disayangkan adalah Bengkulu belum mampu mengejar ketertinggalannya
dari provinsi tetangganya. Di saat Palembang telah dihiasi gemerlapnya lampu
kota, di Bengkulu sendiri masih sering terjadi pemadaman bergilir. Ketika
Jembatan Ampera ramai dikunjungi wisatawan, banyak orang malah tidak tahu apa
itu bunga Rafflesia Arnoldi. Ironis memang. Saya jadi ingat sepintas obrolan
dengan teman soal daerah penempatan, “Ah, kamu mah enak masih dapat Sumatera.
Gak kayak si anu di Papua.” Saya
hanya tertawa dan menjawab dengan guyonan, “Bengkulu memang Sumatera. Sayangnya
Sumatera rasa Papua.” Bagaimana tidak? Hampir sebagian besar propinsi ini
merupakan daerah endemik malaria. Demam sedikit langsung divonis malaria. Mengkonsumsi
pil kina sudah menjadi hal lumrah. Tak hanya beradaptasi terhadap
masyarakatnya, tapi mungkin juga harus beradaptasi terhadap nyamuk dan pola
hidup di sini.
“Aku rela deh
penempatan Manna. Aku cinta pantai. Ah, enak banget lo!” Pernah teman saya yang
berkunjung ke Manna berujar demikian. Saya bersyukur sebagai pecinta suara
ombak dan penikmat birunya laut, saya ditempatkan di daerah pantai, bukan di
daerah gunung. Ketika merasa penat dengan segala apa yang ada di kantor, kita
bisa lari ke pantai dan melampiaskannya di sana. Begitu pikir saya. Di belakang
rumah dinas KPPN tempat saya tinggal, terdapat tempat favorit saya melarikan
diri dari segala rutinitas. Sepertinya belum bernama, hanya penduduk sekitar
yang menamakannya Taman Remaja. Di sekitar taman terdapat bunker-bunker
peninggalan penjajahan Jepang. Duduk di kursi bambu, memandang dari ketinggian
taman, langit dan laut yang seperti menyatu, menunggu senja di ufuk barat, dan
ditemani secangkir kopi. Maka, nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?
Bagi perantauan
seperti saya dan teman-teman kantor lainnya, hidup di kota kecil seperti Manna
dengan segala keterbatasan yang ada menjadi alasan kami menghabiskan banyak
waktu di kantor. Entah itu untuk bermain tenis atau sekedar internetan.
Terkadang di akhir pekan, kami berburu pantai. Bentuknya yang seperti putri
tertidur, memanjang di sepanjang sisi barat Pulau Sumatera, menjadikan Propinsi
Bengkulu memiliki banyak pantai. Pantai Panjang mungkin yang paling banyak
dikenal. Pasalnya, selain terletak di ibukota propinsi dan lebih mudah
dijangkau, pantai ini memiliki garis pantai terpanjang se-Asia Tenggara. Namun
demikian, ada tempat lain yang layak saya sebut The Hidden Paradise. Pantai Laguna dan Muara Kedurang sangatlah
eksotis. Jika nanti anda berlibur atau dinas ke sini, pastikan anda mengunjungi
kedua tempat ini! Hanya sangat disayangkan, objek dan infrastruktur wisatanya
tidak terurus.
Tak berlebihan
rasanya jika Manna memiliki sebutan sebagai Kota Kenangan. Ketika kaki
melangkah masuk dan keluar, ada banyak hal manis dan pahit yang dikenang. Saya
bisa mengenang bagaimana rasanya menjadi “anak kemarin sore” di kantor. Saya
bisa mengenang pertama kali di kantor dihadiahi satker sebuah permen Kiss. Di bungkusnya ada tulisan “Perjalanan
masih panjang.” Ya, saya, anda, dan kita memang sedang melakukan perjalanan. Sepanjang
perjalanan ini saya banyak menemukan. Temuan-temuan tersebut kemudian membentuk
pribadi saya, mempengaruhi cara berpikir, bersikap, berperilaku. Saya menemukan
banyak pengalaman yang membuat saya lebih luwes dalam hidup. Kenapa lebih
luwes? Karena di mana pun kita, akan ada sisi liar kehidupan, yang kadang bisa
ditaklukkan, bisa juga diajak berteman.
Saya ingat, saya
memang pernah berniat, di mana pun saya ditempatkan, saya ingin menulis dan
bercerita sebanyak-banyaknya tentang daerah itu. Semata-mata agar tidak banyak
anak muda yang merasa takut ketika harus bertugas di belahan lain tanah airnya.
Ketakutan tidak sama dengan rasa gugup karena penasaran.
Telah, sedang, dan akan di mana
kita nanti, Tuhan tidak pernah salah menempatkan. Sekalipun apa dan siapa yang
kita inginkan tidak bisa kita temui segera. Sekalipun berada di tempat yang
serba sepi, serba jauh ketinggalan, dan serba ala kadarnya. Ada banyak sisi
baik yang bisa ditemukan. Ada banyak hal berguna yang tetap bisa dikerjakan.
Bagian kita adalah bagaimana menjadi orang yang mumpuni, punya jiwa melayani
publik, bertanggung jawab kepada atasan, masyarakat, dan Tuhan. Hingga kini
pun, saya masih terus belajar dengan segala keterbatasan yang ada dalam diri
maupun peradaban yang ada, dan tak jarang harus mengakrabi alam yang rawan
gempa. Semoga tidak terlalu muluk.
Sekian cerita dan masih tidak
berhenti. Hingga nanti.
Manna, 25 Mei 2013