Dulu, sebelum "Jomblo Perak" julukan secara main-main yang saya berikan sendiri terhadap diri saya, saya juga menyebut diri sendiri "Lajang Kelana".
Alasannya, ya, karena saya masih lajang, dan dalam hidup ini kita
bagaikana pengelana-pengelana yang berjalan tanpa tahu pasti akan tiba
di mana--setidaknya begitu menurut saya. Sebutan itu rasanya sekarang tak banyak
berubah. Keadaan juga tak banyak berubah. Saya masih tetap lajang, dan
saya masih berkelana. Bedanya, jika dulu pengelanaan saya anggap sebagai
sesuatu yang menyenangkan dan seru, kini satu-dua kecemasan mulai
hadir, tanpa bisa diusir.
Mungkin benar bahwa pengelanaan selepas kuliah adalah "pengelanaan yang
sebenarnya". Harus saya akui, rimba raya sejati ini memang melelahkan.
Seakan-akan seluruh hidupmu ditentukan oleh seberapa banyak uang yang
kamu miliki, seberapa tinggi gelar dari sekolah yang kau dapat, bagaimana jabatanmu di kantor, seberapa hebat rumah
dan kendaraanmu, seberapa keren gandenganmu, kapan menikah bla bla bla dan seterusnya. Dan saya juga tidak bisa lagi
berlindung di balik cemoohan superior khas mahasiswa, "Cih, itu semua
hanya buai kapitalisme!" Yah, mau buai kapitalisme, mau buai komunisme,
pada kenyataannya apapun rencana kita, ada kebutuhan akan uang di
dalamnya.
Sebagai pengelana muda, saya penuh cita-cita. Saat kecil saya seperti sudah tahu apa profesi saya ketika besar nanti. Saya ingin jadi dokter! Dengan pasti saya berkata begitu tanpa sekejap pun saya ragu. Beranjak SMA, cita-cita itu banyak berubah, tidak lagi obsesi semata, mata saya semakin terbuka lebar, saya ingin kuliah setinggi-tingginya, keluar negeri, dan bekerja sesuai "passion". Tapi Tuhan berkata lain, saya bukannya berada di Hubungan Internasional kampus kuning UI, tapi justru malah sekolah di STAN. Pikir saya waktu, ah sudahlah, yang penting kuliah, toh kampus ini juga beken, lulus langsung kerja. Jaman sekarang tahu sendiri, susah cari kerja. Dan begitu melepas toga, saya melangkah tanpa
setitik pun bertanya-tanya.
Tapi ada di mana saya sekarang? Sungguhkah ini yang saya inginkan?
Saya tidak pernah menyangka sesuatu yang dulunya begitu nyata, bisa
menjadi kabur tiba-tiba. Buram. Mungkin itulah poin pertama yang hidup
ajarkan pada saya: jangan pernah terlalu yakin dan merasa paham. Dulu
saya merasa selalu bisa bersandar pada idealisme saya. Sekarang kurang
lebih tetap sama, hanya si Pengelana Dewasa mulai menyentil dengan
pertanyaan,
"Sejauh apa idealismemu bisa membawamu, dalam keadaan tetap dan terus bersyukur?"
Sejak SMA, saya selalu ingin jadi diplomat. Maka dari itu saya memilih jurusan yang berdekatan dengan profesi itu. Tapi sejak kuliah, pandangan saya banyak berubah. Saya telah di-setting dan dipersiapkan menjadi PNS di Kementerian Keuangan. Tapi, rasanya hingga kini, passion saya belum banyak berubah. Memang, saat ini tepat seperti itu saya telah bekerja. Pekerjaan yang banyak diidamkan orang. "Ah, sudahlah Grace, kerjamu udah enak, mapan, banyak uang, kurang apa lagi?"begitu yang teman lama katakan tiap bertemu. Iya, bekerja, tetapi ketika semua itu
membuat saya harus terlalu banyak berkompromi, apakah yang harus saya
lakukan? Saya bisa saja kan memilih pekerjaan sesuka hati kalau saja perut ini tidak butuh
makan, badan ini tidak butuh pakaian, jiwa ini tidak butuh jalan-jalan,
dan seterusnya. Tapi kalau saya bekerja sekadar untuk bisa makan, beli
pakaian, dan jalan-jalan, mungkin saya akan malu pada diri saya sendiri.
Setidaknya untuk saat ini, saya tidak tahu apakah itu hal yang tepat
untuk dilakukan.
Saya sedang punya banyak rencana. Saya ingin sekolah lagi. Saya ingin
mengecap pendidikan yang lebih tinggi. Saya ingin mengajar. Saya ingin
mengunjungi beberapa tempat di dunia. Dan menuliskannya. Saya ingin berkontribusi pada isu-isu global tentang lingkungan, HAM, anak, dan budaya --hal-hal yang
saya suka. Saya ingin menemukan lelaki yang tepat untuk diajak berbagi
kehidupan, dan ingin meresmikan hubungan dengannya.
Begitu banyak saya ingin, saya ingin, dan saya ingin. Dan semua rencana
tersebut sekarang statusnya dalam masa tunggu. Saya benci menunggu. Kamu
juga, kan?
Tapi barangkali itulah yang kadang-kadang harus kita lakukan. Seorang
pengelana yang paling berani pun pernah merasa ragu, cemas, takut, dan
sedih. Ia tidak boleh terlalu keras pada dirinya sendiri. Ada kalanya ia
hanya harus berhenti berjalan sejenak, lalu berteduh di bawah pohon
untuk berpikir tentang perjalanannya... :)
Kerasnya kehidupan, tetaplah tertawa dan semangat wahai pengelana! Hap hap hap hap!! |