19.11 WIB
KPPN Manna
Kantor telah sepi. Namun, saat ini, saya dan beberapa orang teman masih berada di sini. Suara yang terdengar hanya butiran hujan yang mengalir dari atas atap. Mungkin ini yang menjadi alasan saya dan beberapa orang ini masih belum pulang, tapi sepertinya tidak juga.
Hidup di kota kecil seperti Manna dengan segala keterbatasan yang ada menjadi alasan kami menghabiskan banyak waktu di kantor.
Dan saat ini, di saat internet kantor masih menyala, pikiran saya melayang pada pembicaraan dengan ibu beberapa waktu lalu.
"Nak, ibu lagi coba2 cari koneksi, ada teman ibu yang udah punya jabatan di sini, sudah eselon III. Ibu coba minta tolong, siapa tau kamu bisa dipindah ke Medan, atau paling tidak ke tempat yang lebih ramai dan lebih gampang buat pulang lah.", ujar beliau.
Saya hanya tertawa dan menjawab, "Gak usah, bu. Nanti juga kalau sudah menikah, saya ikut suami."
Jujurly speaking, hingga saat itu saya masih berpikir bagaimana cara tercepat dan termudah saya bisa pindah dari kota ini, hingga menikah pun saya jadikan sebagai alternatif.
Kantor saya terletak di propinsi Bengkulu, tepatnya di Manna, Kab. Bengkulu Selatan, bukan di ibukota propinsi. Ibukota propinsinya sendiri adalah Bengkulu, namun Bengkulu sendiri masih tergolong sepi untuk ukuran sebuah ibukota propinsi. Mungkin anda sendiri bisa membayangkan bagaimana dengan Manna kalau begitu?
Jika dibandingkan dengan tiga kota yang saya pernah tinggal, Manna sungguh sangat jauh ketinggalan, serba sepi, dan serba apa adanya.
Ketika kembali saya memikirkan tawaran itu, tiba2 terlintas begitu saja, "Ternyata gampang sekali ya kalau aku mau mencicipi kenyamanan yang aku idam-idamkan. Tinggal bilang "urus saja bu", pasti ibu saya akan mencari bala bantuan, kalaupun tidak, tinggal pilih menantu dari Medan,saya akan pindah ke Medan. Tapi, apa iya sesederhana itu keadaannya?"
"Life begins at the end of your comfort zone." *Neale Donald Walsch*
Di kantor saya, sekarang hanya ada 12 orang, di antaranya 4 orang Kepala Seksi, dan 8 pelaksana. Sejak saya datang ke kantor ini, sudah hampir 5 bulan kantor ini berjalan tanpa Kepala Kantor. Beberapa bulan sebelumnya, kantor ini memang lebih rame, sebelum para senior saya rame-rame dimutasi ke KPPN Percontohan oleh SK beberapa waktu lalu. Saya sendiri antara bangga dan sedih karena mereka pindah. Bangga, karena kinerja mereka memang bagus, sehingga memang layak dapat tempat yang lebih bagus, dan demi karir dan kehidupan mereka yang lebih baik juga. Sedih, sebab bisa dibilang mereka adalah tulang punggung kantor ini, jauh lebih berpengalaman, dan begitu banyak membantu kami--yang masih "anak kemarin sore".
"Bagaimana nanti kantor ini tanpa mas-mas itu? Alangkah sepinya.. Siapa yang ngerjain ini..itu..bla bla bla bla, dst.." begitu pikir saya ketika SK itu keluar.
Di satu sisi, saya bersyukur, 8 pelaksana di kantor saya seluruhnya adalah anak prodip -- sebutan bagi STAN jaman dulu. Dua diantaranya jauh lebih senior daripada saya, dua lainnya memang masih terbilang muda, hanya sekitar 5-6 tahun beda usia dengan saya, namun jauh lebih berpengalaman daripada saya dan 2 teman saya seangkatan di sini, dan seorang lagi masih terbilang baru, untuk urusan kantor belum banyak pengalaman dikarenakan menempuh pendidikan S1 beasiswa internal. Saya sering bertanya pada para senior ini tiap menemui masalah dalam pekerjaan. Melihat kinerja mereka, saya sempat berpikir, tanpa kepala seksi pun kantor ini bisa berjalan.
Di sisi lain, saya harus "terjebak" dalam kondisi menyedihkan. Ada mitra kerja yang datang atau menghubungi kantor dengan membawa masalah. Saya, yang saat itu bertemu mereka, ada, tanpa bisa memberikan solusi apa2 karena memang tidak menguasai hal itu. Dan terpaksa saya harus bertanya pada senior di sini.
Bagaimana jika mereka, orang-orang yang saya andalkan sedang tidak ada di tempat? Bagaimana jika nanti mereka yang lebih berpengalaman juga dimutasi? Bertahan dengan 12 orang pegawai saja rasanya sudah begini, bagaimana kalau orang di kantor ini harus berkurang lagi? Belum lagi, mungkin hanya para pelaksana yang menguasai teknis pekerjaan di sini,(maaf, tapi saya harus sebut ini)
Beberapa waktu lalu, saya dipercayakan sebagai Customer Service Officer di kantor, berhubung CSO sebelumnya sudah terlalu banyak pekerjaan yang ditangani. Menerima tanggung jawab itu merupakan "passion" baru bagi saya. Saya dituntut untuk mengerti seluruh seluk beluk pekerjaan dan teknis aplikasi yang dipakai di kantor. Saya harus siap menangani masalah dari tiap mitra kerja, menerima keluhan-keluhan mereka, dan yang paling penting harus lebih banyak belajar lagi.
Kalau dulu saya berdoa, " Tuhan,aku mau kuliah lagi, ambil jurusan HI UI, pindah dari sini, punya yayasan sosial, gabung di keanggotaan UNESCO, keluar negeri, bla bla bla.. sebab 'passion' ku ada disitu"
Tidak ada yang salah memang berdoa seperti itu. Toh, itu keinginan kita, sampaikan saja pada-Nya.
Tapi, kalau boleh ini disebut, doa saya banyak yang baru sekarang. Tuhan tidak pernah salah menempatkan saya di KPPN Manna, dan saya berdoa,"Tuhan, berikanlah orang-orang yang mumpuni, punya jiwa melayani publik, bertanggung jawab, tidak hanya kepada atasan dan masyarakat, tapi juga kepada Tuhan."
Apakah keinginan untuk pindah ke tempat yang lebih punya peradaban masih ada? Apakah keinginan menjadi seorang duta PBB masih ada?
Makin banyak merasa, makin akrab dengan kesulitan, perlahan saya mengerti bahwa hidup bukan melulu tentang "Aku ingin.." melainkan "Aku harus..", bahkan "Harus aku..."
Dengan segala keterbatasan yang ada pada diri saya maupun pada peradaban di sini, semoga memberi manfaat sekecil apapun.
Tulisan ini saya tulis untuk memberikan semangat kepada saya sendiri dan kepada teman2 saya di seluruh penjuru nusantara sekaligus untuk berterimakasih kepada para senior dan teman2 kantor yang tidak saya sebutkan namanya, tapi sadar telah disebut di dalamnya. Mari terus belajar dan sama2 mengabdi di tempat yang bisa dikatakan ala kadarnya ini dan tak jarang harus mengakrabi alam yang rawan gempa.
KPPN Manna
Kantor telah sepi. Namun, saat ini, saya dan beberapa orang teman masih berada di sini. Suara yang terdengar hanya butiran hujan yang mengalir dari atas atap. Mungkin ini yang menjadi alasan saya dan beberapa orang ini masih belum pulang, tapi sepertinya tidak juga.
Hidup di kota kecil seperti Manna dengan segala keterbatasan yang ada menjadi alasan kami menghabiskan banyak waktu di kantor.
Dan saat ini, di saat internet kantor masih menyala, pikiran saya melayang pada pembicaraan dengan ibu beberapa waktu lalu.
"Nak, ibu lagi coba2 cari koneksi, ada teman ibu yang udah punya jabatan di sini, sudah eselon III. Ibu coba minta tolong, siapa tau kamu bisa dipindah ke Medan, atau paling tidak ke tempat yang lebih ramai dan lebih gampang buat pulang lah.", ujar beliau.
Saya hanya tertawa dan menjawab, "Gak usah, bu. Nanti juga kalau sudah menikah, saya ikut suami."
Jujurly speaking, hingga saat itu saya masih berpikir bagaimana cara tercepat dan termudah saya bisa pindah dari kota ini, hingga menikah pun saya jadikan sebagai alternatif.
Kantor saya terletak di propinsi Bengkulu, tepatnya di Manna, Kab. Bengkulu Selatan, bukan di ibukota propinsi. Ibukota propinsinya sendiri adalah Bengkulu, namun Bengkulu sendiri masih tergolong sepi untuk ukuran sebuah ibukota propinsi. Mungkin anda sendiri bisa membayangkan bagaimana dengan Manna kalau begitu?
Jika dibandingkan dengan tiga kota yang saya pernah tinggal, Manna sungguh sangat jauh ketinggalan, serba sepi, dan serba apa adanya.
Ketika kembali saya memikirkan tawaran itu, tiba2 terlintas begitu saja, "Ternyata gampang sekali ya kalau aku mau mencicipi kenyamanan yang aku idam-idamkan. Tinggal bilang "urus saja bu", pasti ibu saya akan mencari bala bantuan, kalaupun tidak, tinggal pilih menantu dari Medan,saya akan pindah ke Medan. Tapi, apa iya sesederhana itu keadaannya?"
"Life begins at the end of your comfort zone." *Neale Donald Walsch*
Di kantor saya, sekarang hanya ada 12 orang, di antaranya 4 orang Kepala Seksi, dan 8 pelaksana. Sejak saya datang ke kantor ini, sudah hampir 5 bulan kantor ini berjalan tanpa Kepala Kantor. Beberapa bulan sebelumnya, kantor ini memang lebih rame, sebelum para senior saya rame-rame dimutasi ke KPPN Percontohan oleh SK beberapa waktu lalu. Saya sendiri antara bangga dan sedih karena mereka pindah. Bangga, karena kinerja mereka memang bagus, sehingga memang layak dapat tempat yang lebih bagus, dan demi karir dan kehidupan mereka yang lebih baik juga. Sedih, sebab bisa dibilang mereka adalah tulang punggung kantor ini, jauh lebih berpengalaman, dan begitu banyak membantu kami--yang masih "anak kemarin sore".
"Bagaimana nanti kantor ini tanpa mas-mas itu? Alangkah sepinya.. Siapa yang ngerjain ini..itu..bla bla bla bla, dst.." begitu pikir saya ketika SK itu keluar.
Di satu sisi, saya bersyukur, 8 pelaksana di kantor saya seluruhnya adalah anak prodip -- sebutan bagi STAN jaman dulu. Dua diantaranya jauh lebih senior daripada saya, dua lainnya memang masih terbilang muda, hanya sekitar 5-6 tahun beda usia dengan saya, namun jauh lebih berpengalaman daripada saya dan 2 teman saya seangkatan di sini, dan seorang lagi masih terbilang baru, untuk urusan kantor belum banyak pengalaman dikarenakan menempuh pendidikan S1 beasiswa internal. Saya sering bertanya pada para senior ini tiap menemui masalah dalam pekerjaan. Melihat kinerja mereka, saya sempat berpikir, tanpa kepala seksi pun kantor ini bisa berjalan.
Di sisi lain, saya harus "terjebak" dalam kondisi menyedihkan. Ada mitra kerja yang datang atau menghubungi kantor dengan membawa masalah. Saya, yang saat itu bertemu mereka, ada, tanpa bisa memberikan solusi apa2 karena memang tidak menguasai hal itu. Dan terpaksa saya harus bertanya pada senior di sini.
Bagaimana jika mereka, orang-orang yang saya andalkan sedang tidak ada di tempat? Bagaimana jika nanti mereka yang lebih berpengalaman juga dimutasi? Bertahan dengan 12 orang pegawai saja rasanya sudah begini, bagaimana kalau orang di kantor ini harus berkurang lagi? Belum lagi, mungkin hanya para pelaksana yang menguasai teknis pekerjaan di sini,(maaf, tapi saya harus sebut ini)
Beberapa waktu lalu, saya dipercayakan sebagai Customer Service Officer di kantor, berhubung CSO sebelumnya sudah terlalu banyak pekerjaan yang ditangani. Menerima tanggung jawab itu merupakan "passion" baru bagi saya. Saya dituntut untuk mengerti seluruh seluk beluk pekerjaan dan teknis aplikasi yang dipakai di kantor. Saya harus siap menangani masalah dari tiap mitra kerja, menerima keluhan-keluhan mereka, dan yang paling penting harus lebih banyak belajar lagi.
Kalau dulu saya berdoa, " Tuhan,aku mau kuliah lagi, ambil jurusan HI UI, pindah dari sini, punya yayasan sosial, gabung di keanggotaan UNESCO, keluar negeri, bla bla bla.. sebab 'passion' ku ada disitu"
Tidak ada yang salah memang berdoa seperti itu. Toh, itu keinginan kita, sampaikan saja pada-Nya.
Tapi, kalau boleh ini disebut, doa saya banyak yang baru sekarang. Tuhan tidak pernah salah menempatkan saya di KPPN Manna, dan saya berdoa,"Tuhan, berikanlah orang-orang yang mumpuni, punya jiwa melayani publik, bertanggung jawab, tidak hanya kepada atasan dan masyarakat, tapi juga kepada Tuhan."
Apakah keinginan untuk pindah ke tempat yang lebih punya peradaban masih ada? Apakah keinginan menjadi seorang duta PBB masih ada?
Makin banyak merasa, makin akrab dengan kesulitan, perlahan saya mengerti bahwa hidup bukan melulu tentang "Aku ingin.." melainkan "Aku harus..", bahkan "Harus aku..."
Dengan segala keterbatasan yang ada pada diri saya maupun pada peradaban di sini, semoga memberi manfaat sekecil apapun.
Tulisan ini saya tulis untuk memberikan semangat kepada saya sendiri dan kepada teman2 saya di seluruh penjuru nusantara sekaligus untuk berterimakasih kepada para senior dan teman2 kantor yang tidak saya sebutkan namanya, tapi sadar telah disebut di dalamnya. Mari terus belajar dan sama2 mengabdi di tempat yang bisa dikatakan ala kadarnya ini dan tak jarang harus mengakrabi alam yang rawan gempa.
0 komentar:
Posting Komentar