Saya tidak tahu dengan orang lain, tapi
2013 ini rasanya terlalu cepat berlalu. Rasanya baru kemarin saya merayakan
malam tahun baru dengan keluarga besar di Medan. Sekarang Maret sudah habis,
dan memasuki bulan baru. 1 April 2013. Selamat April Mop! *yang artinya hari ini
gajian..horeeee..* Ya, kalimat itu terdengar klise dan terlalu cepat ketika
diucapkan di bulan-bulan seperti ini, yang pertengahan tahun saja belum masuk.
Tapi bagi saya, ada beberapa alasan yang membuat saya mengucapkan kalimat di
atas.
Teman sekaligus saudara saya di DJPB, KPPN Pangkalan Bun, Herbert, menyatakan 2013 ini tahun yang penuh masalah buat dia, padahal baru berjalan beberapa bulan saja. Saya, yang mendengar juga merasakan hal yang sama sepertinya. Tapi kalau memang harus, maka kata yang saya pilih untuk menggambarkan 2013 adalah mengagumkan. Atau agar lebih elegan, tahun ini saya gambarkan dengan satu kata dalam bahasa Inggris: outstanding. Saya tidak mau ikut-ikutan, tapi saya juga tidak mau memendam rasa syukur buat 2013 yang sedang berjalan ini. Banyak hal yang mengagumkan saya sepanjang tiga bulan ini. Meskipun kekaguman itu timbul setelah hati yang sakit, air mata yang berember-ember, mata yang bengkak di pagi hari (karena tangis di tengah malam), dan kesesakan lainnya.
Saya ingat, dulu saya pernah bilang hidup saya kok rasanya enak-enak saja. Meskipun sempat merasa minder,karena tidak
punya pacar, karena saya ditempatkan di daerah yang jauh dari keramaian,
jauh dari peradaban, dan jauh dari komunitas yang membangun, tapi saya punya
orang-orang terbaik di sekitar saya. Bagaimana tidak? Keluarga yang sepenuhnya
mendukung, suasana dan rekan sekerja di kantor yang kondusif dan hangat, teman-teman
yang selalu ada buat saya, baik yang biasa saya hubungi lewat dunia maya, atau
travelling bareng, bahkan yang hanya sekedar hahahihi bareng, dan semua
keenakan lainnya. Jadi saya minta Tuhan memberi kejutan. Dan hebatnya Tuhan
jawab di tahun ini juga. Atau mata saya saja yang baru terbuka. Entahlah, tapi
saya kemudian sadar, bahwa hidup saya jauh dari “enak-enak saja”. Bayangkan,
2013 saya mulai dengan bedrest total selama dua bulan di rumah akibat patah
tulang panggul karena jatuh dari motor. Di rumah selama dua bulan membawa saya
kepada perenungan ini itu, *merenungkan uang saya yang sudah habis kemana saja
ya… Ditambah lagi tepat di hari Valentine, 14 Februari 2013 kemarin, tragedi
besar-besaran terjadi. Perasaan yang sama yang saya rasakan ketika mendengar
pengumuman SPMB lebih dari lima tahun lalu. Perasaan yang sama ketika
orang-orang terdekat saya mengalami kebahagiaan, tapi saya justru sebaliknya. Ketakutan
ditinggal teman terdekat di daerah terpencil benar-benar mencekam saya.
Perasaan malu yang teramat sangat seakan menerkam kenyamanan saya. Kekhawatiran
akan masa depan kembali muncul mengganggu ketenangan jiwa dan pikiran saya.
Untuk beberapa saat, saya sempat menjadi seseorang yang anti-sosial, sering merenung dan tersedu sendiri. Ah, sudahlah tidak usah dibahas ya. Saya memang harus siap mental untuk apapun yang terjadi. Dan terus berdoa. Ya, sesuatu yang seringnya saya tinggalkan: bersiap dan berdoa. Berita itu tidak mengharuskan saya berdoa tapi membawa saya kembali pada ketenangan jiwa yang dulu selalu saya alami ketika berdoa dan membuat saya siap untuk menghadapi apapun. Toh, Tuhan mendengar doa saya dan sudah merancang yang terbaik bagi hidup saya.
Ketika kembali ke perantauan, ketika saya ingin memulai kembali semuanya dari awal, yang saya dapati malah konflik dengan teman serumah saya (sekarang tidak lagi serumah). Teman seangkatan saya, yang seharusnya bisa menjadi sahabat sekaligus saudara dikarenakan kami hanya berdua perempuan yang penempatan di sini. Entahlah, menurut saya dia masih belum bisa saya kategorikan sebagai seorang sahabat (apalagi saudara). Maaf terkesan kasar. Meski tak penting, tapi itu benar-benar membuka mata saya untuk belajar merespon tiap orang. Dan saya seperti ditampar juga, karena ternyata pengendalian diri saya masih jauh dari kategori baik. Tidak semua orang dapat menerima saya yang apa adanya. Tidak semua orang juga dapat saya paksakan untuk cocok dengan saya. Yang saya syukuri, saya jadi tahu siapa teman saya sebenarnya.
Mengapa saya merasa ditampar dengan adanya masalah ini? Begini, saya selalu merasa saya tahu benar bagaimana memilih teman dan tahu bagaimana menjadi teman yang baik. Dan selama sekolah dan kuliah, bahkan sejak kecil, saya tidak punya masalah yang cukup besar dalam hal relasi ini. Tapi Tuhan goyangkan zona nyaman saya, dan inilah saya sekarang, mungkin jadi satu-satunya orang yang pernah diteriaki, “Kau bukan temanku lagi!” dari seseorang yang selama ini saya anggap teman yang cukup baik untuk jadi teman.
Awalnya saya menyangkal dan (setelah terisak-isak) malah mengeluarkan pernyataan, “Oke, itu kerugian dia kalau tak mau lagi berteman denganku.” Ketika saya pikir masalah itu sangat sepele, tapi mungkin karena respon saya yang salah dari awal, hingga kini pun antara saya dan dia masih terjadi perang dingin. Saya belum punya mental yang cukup kuat untuk bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Rasa sakit dan pahit itu masih ada di dalam sini *nunjuk ke hati dan merembes ke mulut*. Ah, padahal mulai bulan ini, kami resmi akan menjadi rekan kerja di seksi yang sama. Saya tidak tahu sudah sejauh apa orang di kantor tahu masalah ini dari dia, saya juga tidak tahu dia dan “pendukungnya” bilang apa tentang saya. Yang pasti, saya tidak peduli, sebab bukan mereka yang mendefenisikan saya itu seperti apa. Semoga Tuhan berkenan di 2013 yang belum berakhir ini untuk menjawab pergumulan saya tentang relasi yang satu ini dan terus menajamkan saya.
Pelajaran moral: saya semakin bersyukur untuk sahabat-sahabat sejati, yang saya sesungguhnya tidak tahu apakah mereka akan mengecewakan saya suatu waktu atau tidak. Tapi yang pasti mereka telah turut menorehkan sejarah dalam hidup saya, berperan besar membuat saya menjadi seseorang seperti saya sekarang. Dan bagaimana saya tidak beryukur untuk itu? Saya juga jadi realistis bahwa teman juga bukan sesuatu yang abadi. Dan, meski tidak ada istilah mantan teman, tapi bukan hal yang mustahil untuk bilang, “Oh iya, dia temanku dulu.” *Englishnya, “somebody that I used to know”..okesipp! Pinter…
Satu hal yang bisa jadi “pengalihan isu” dari kekecewaan demi kekecewaan ini mungkin adanya issue beasiswa internal S1 dan Program Pertukaran Pemuda Antar Negara. Tapi lagi-lagi sangat disayangkan, Surat Edaran dari Kantor Pusat yang keluar beberapa waktu lalu seolah “melarang” angkatan saya untuk ikut seleksi beasiswa internal, dengan adanya syarat khusus minimal 2D (yang baru dipersyaratkan tahun ini saja). Lalu apa respon saya? Mungkin sama seperti respon sebagian besar teman-teman seperjuangan seangkatan saya. Marah? Sedih? Kecewa? Jelas! Tapi nasi sudah menjadi bubur, pilihannya sekarang hanya tinggal membuat bubur ayam yang lezat. Di saat saya benar-benar merasa “down”, ingin segera melarikan diri dari kantor ini, dari daerah ini, dari rutinitas yang membosankan, dan dari orang-orang yang memuakkan di kantor, Tuhan malah seolah menyuruh saya untuk tetap bertahan di sana. Ya, saya menyebutnya Kelas Padang Gurun. Saya anggap ini jadi ajang pembentukan karakter dan pengungkapan karakter sebenarnya dari diri saya. Saya bersyukur kepada Tuhan karena melalui ini, saya bisa melatih pikiran saya untuk tetap positif dan satu kalimat yang saya imani dan amini sesaat sebelum menulis tulisan ini adalah: “If God lead you to it, He will lead you through it.” Maka, terpujilah Tuhan. Itu semua karena Engkau.
Ah, iya, Pendaftaran dan seleksi Program Pertukaran Pemuda Antar Negara perwakilan Provinsi Bengkulu sebentar lagi. Saya sangat tertarik dengan program yang diadakan Kemenpora ini. Apapun yang terjadi saya akan berjuang semaksimal mungkin untuk bisa ikut serta. Sekali lagi, “If God lead you to it, He will lead you through it.”
Oh, dan lagi, dari semua itu yang paling saya syukuri adalah saya tidak sendirian merayakan sukacita Paskah kemarin. Betapa saya bersyukur karena di masa-masa kelas padang gurun inilah saya menemukan komunitas baru di kota ini. Dalam hal mencari-menemukan komunitas dan pelayanan juga jadi masa pembelajaran yang berharga. Setelah sempat vacuum dalam pelayanan dan belum menemukan komunitas, sekarang saya sudah kembali, Tuhan kembali tuntun saya ke dunia pelayanan anak Sekolah Minggu di Gekisia Efata Manna. Tuhan juga pertemukan saya dengan pemuda-pemudi yang luar biasa, yang menyambut saya yang masih baru bergabung ini, dengan begitu hangatnya dalam persekutuan mereka. Tiga hari kemarin (29-31 Maret 2013) saya merasakan sukacita yang luar biasa dalam Tuhan bisa berkumpul bersama mereka. Saya sadar betul bahwa kami, saya dan mereka masih butuh banyak belajar, tentang firman Tuhan, tentang kasih-Nya, tentang bagaimana menjadi pemuda yang bertumbuh dalam iman dan karakter, saling menajamkan, saling membangun, saling mendukung, dan saling mendoakan. Komunitas kecil di kota yang kecil tapi berdampak besar. Doa saya, semoga saya bisa menjadi berkat bagi gereja dan daerah ini, Tuhan.
Saya tidak tahu apakah hingga akhir tahun 2013 Tuhan masih mengijinkan saya berada di sini, di kota ini, di kantor ini, dan di gereja ini. Apakah saya masih bersama dengan orang-orang yang sama, atau ada banyak orang lain yang datang silih berganti, dan menorehkan bekas di hati saya. Apakah saya masih mendampingi dan mengajari anak-anak Sekolah Minggu atau tidak. Apakah saya akhirnya punya pacar,sehingga tahun depan tidak mendapat
gelar jomblo perak.. Apakah saya tiba-tiba mendapat SK Mutasi.. Ah, terlalu
banyak rasanya yang tidak saya ketahui. Yang saya tahu, rancangan Tuhan itu
pasti. Iya dan amin. Tahun 2013 masih panjang. dan di hari-hari, bulan-bulan,
bahkan tahun-tahun mendatang, saya selalu punya Bapa yang sempurna, yang tak
pernah meninggalkan saya, yang memelihara saya, dan yang abadi, ketika orang-orang
dan hal-hal yang terjadi dalam hidup saya hanya bersifat sementara. Dan jujur
hingga kini, saya masih berharap saya bisa sekolah lagi dan bekerja sesuai
passion saya, dan tidak tinggal jauh dari keluarga seperti ini. Eh, tapi hey,
bukankah setiap Minggu saya berdoa, “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di
sorga”? Biarlah saya tunduk pada kehendak Bapa yang sempurna itu. Karena saya,
kamu, dan kita memang diciptakan oleh Dia dan untuk kemuliaan-Nya. Terpujilah
Allah Bapa, kini dan selamanya.
Selamat Paskah 2013, sahabat.. :)
Teman sekaligus saudara saya di DJPB, KPPN Pangkalan Bun, Herbert, menyatakan 2013 ini tahun yang penuh masalah buat dia, padahal baru berjalan beberapa bulan saja. Saya, yang mendengar juga merasakan hal yang sama sepertinya. Tapi kalau memang harus, maka kata yang saya pilih untuk menggambarkan 2013 adalah mengagumkan. Atau agar lebih elegan, tahun ini saya gambarkan dengan satu kata dalam bahasa Inggris: outstanding. Saya tidak mau ikut-ikutan, tapi saya juga tidak mau memendam rasa syukur buat 2013 yang sedang berjalan ini. Banyak hal yang mengagumkan saya sepanjang tiga bulan ini. Meskipun kekaguman itu timbul setelah hati yang sakit, air mata yang berember-ember, mata yang bengkak di pagi hari (karena tangis di tengah malam), dan kesesakan lainnya.
Saya ingat, dulu saya pernah bilang hidup saya kok rasanya enak-enak saja. Meskipun sempat merasa minder,
Untuk beberapa saat, saya sempat menjadi seseorang yang anti-sosial, sering merenung dan tersedu sendiri. Ah, sudahlah tidak usah dibahas ya. Saya memang harus siap mental untuk apapun yang terjadi. Dan terus berdoa. Ya, sesuatu yang seringnya saya tinggalkan: bersiap dan berdoa. Berita itu tidak mengharuskan saya berdoa tapi membawa saya kembali pada ketenangan jiwa yang dulu selalu saya alami ketika berdoa dan membuat saya siap untuk menghadapi apapun. Toh, Tuhan mendengar doa saya dan sudah merancang yang terbaik bagi hidup saya.
Ketika kembali ke perantauan, ketika saya ingin memulai kembali semuanya dari awal, yang saya dapati malah konflik dengan teman serumah saya (sekarang tidak lagi serumah). Teman seangkatan saya, yang seharusnya bisa menjadi sahabat sekaligus saudara dikarenakan kami hanya berdua perempuan yang penempatan di sini. Entahlah, menurut saya dia masih belum bisa saya kategorikan sebagai seorang sahabat (apalagi saudara). Maaf terkesan kasar. Meski tak penting, tapi itu benar-benar membuka mata saya untuk belajar merespon tiap orang. Dan saya seperti ditampar juga, karena ternyata pengendalian diri saya masih jauh dari kategori baik. Tidak semua orang dapat menerima saya yang apa adanya. Tidak semua orang juga dapat saya paksakan untuk cocok dengan saya. Yang saya syukuri, saya jadi tahu siapa teman saya sebenarnya.
Mengapa saya merasa ditampar dengan adanya masalah ini? Begini, saya selalu merasa saya tahu benar bagaimana memilih teman dan tahu bagaimana menjadi teman yang baik. Dan selama sekolah dan kuliah, bahkan sejak kecil, saya tidak punya masalah yang cukup besar dalam hal relasi ini. Tapi Tuhan goyangkan zona nyaman saya, dan inilah saya sekarang, mungkin jadi satu-satunya orang yang pernah diteriaki, “Kau bukan temanku lagi!” dari seseorang yang selama ini saya anggap teman yang cukup baik untuk jadi teman.
Awalnya saya menyangkal dan (setelah terisak-isak) malah mengeluarkan pernyataan, “Oke, itu kerugian dia kalau tak mau lagi berteman denganku.” Ketika saya pikir masalah itu sangat sepele, tapi mungkin karena respon saya yang salah dari awal, hingga kini pun antara saya dan dia masih terjadi perang dingin. Saya belum punya mental yang cukup kuat untuk bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Rasa sakit dan pahit itu masih ada di dalam sini *nunjuk ke hati dan merembes ke mulut*. Ah, padahal mulai bulan ini, kami resmi akan menjadi rekan kerja di seksi yang sama. Saya tidak tahu sudah sejauh apa orang di kantor tahu masalah ini dari dia, saya juga tidak tahu dia dan “pendukungnya” bilang apa tentang saya. Yang pasti, saya tidak peduli, sebab bukan mereka yang mendefenisikan saya itu seperti apa. Semoga Tuhan berkenan di 2013 yang belum berakhir ini untuk menjawab pergumulan saya tentang relasi yang satu ini dan terus menajamkan saya.
Pelajaran moral: saya semakin bersyukur untuk sahabat-sahabat sejati, yang saya sesungguhnya tidak tahu apakah mereka akan mengecewakan saya suatu waktu atau tidak. Tapi yang pasti mereka telah turut menorehkan sejarah dalam hidup saya, berperan besar membuat saya menjadi seseorang seperti saya sekarang. Dan bagaimana saya tidak beryukur untuk itu? Saya juga jadi realistis bahwa teman juga bukan sesuatu yang abadi. Dan, meski tidak ada istilah mantan teman, tapi bukan hal yang mustahil untuk bilang, “Oh iya, dia temanku dulu.” *Englishnya, “somebody that I used to know”..okesipp! Pinter…
Satu hal yang bisa jadi “pengalihan isu” dari kekecewaan demi kekecewaan ini mungkin adanya issue beasiswa internal S1 dan Program Pertukaran Pemuda Antar Negara. Tapi lagi-lagi sangat disayangkan, Surat Edaran dari Kantor Pusat yang keluar beberapa waktu lalu seolah “melarang” angkatan saya untuk ikut seleksi beasiswa internal, dengan adanya syarat khusus minimal 2D (yang baru dipersyaratkan tahun ini saja). Lalu apa respon saya? Mungkin sama seperti respon sebagian besar teman-teman seperjuangan seangkatan saya. Marah? Sedih? Kecewa? Jelas! Tapi nasi sudah menjadi bubur, pilihannya sekarang hanya tinggal membuat bubur ayam yang lezat. Di saat saya benar-benar merasa “down”, ingin segera melarikan diri dari kantor ini, dari daerah ini, dari rutinitas yang membosankan, dan dari orang-orang yang memuakkan di kantor, Tuhan malah seolah menyuruh saya untuk tetap bertahan di sana. Ya, saya menyebutnya Kelas Padang Gurun. Saya anggap ini jadi ajang pembentukan karakter dan pengungkapan karakter sebenarnya dari diri saya. Saya bersyukur kepada Tuhan karena melalui ini, saya bisa melatih pikiran saya untuk tetap positif dan satu kalimat yang saya imani dan amini sesaat sebelum menulis tulisan ini adalah: “If God lead you to it, He will lead you through it.” Maka, terpujilah Tuhan. Itu semua karena Engkau.
Ah, iya, Pendaftaran dan seleksi Program Pertukaran Pemuda Antar Negara perwakilan Provinsi Bengkulu sebentar lagi. Saya sangat tertarik dengan program yang diadakan Kemenpora ini. Apapun yang terjadi saya akan berjuang semaksimal mungkin untuk bisa ikut serta. Sekali lagi, “If God lead you to it, He will lead you through it.”
Oh, dan lagi, dari semua itu yang paling saya syukuri adalah saya tidak sendirian merayakan sukacita Paskah kemarin. Betapa saya bersyukur karena di masa-masa kelas padang gurun inilah saya menemukan komunitas baru di kota ini. Dalam hal mencari-menemukan komunitas dan pelayanan juga jadi masa pembelajaran yang berharga. Setelah sempat vacuum dalam pelayanan dan belum menemukan komunitas, sekarang saya sudah kembali, Tuhan kembali tuntun saya ke dunia pelayanan anak Sekolah Minggu di Gekisia Efata Manna. Tuhan juga pertemukan saya dengan pemuda-pemudi yang luar biasa, yang menyambut saya yang masih baru bergabung ini, dengan begitu hangatnya dalam persekutuan mereka. Tiga hari kemarin (29-31 Maret 2013) saya merasakan sukacita yang luar biasa dalam Tuhan bisa berkumpul bersama mereka. Saya sadar betul bahwa kami, saya dan mereka masih butuh banyak belajar, tentang firman Tuhan, tentang kasih-Nya, tentang bagaimana menjadi pemuda yang bertumbuh dalam iman dan karakter, saling menajamkan, saling membangun, saling mendukung, dan saling mendoakan. Komunitas kecil di kota yang kecil tapi berdampak besar. Doa saya, semoga saya bisa menjadi berkat bagi gereja dan daerah ini, Tuhan.
Saya tidak tahu apakah hingga akhir tahun 2013 Tuhan masih mengijinkan saya berada di sini, di kota ini, di kantor ini, dan di gereja ini. Apakah saya masih bersama dengan orang-orang yang sama, atau ada banyak orang lain yang datang silih berganti, dan menorehkan bekas di hati saya. Apakah saya masih mendampingi dan mengajari anak-anak Sekolah Minggu atau tidak. Apakah saya akhirnya punya pacar,
Selamat Paskah 2013, sahabat.. :)
0 komentar:
Posting Komentar