Tidak ada yang bisa menggambarkannya dengan kata-kata. Sepanjang hari ini saya hanya duduk sambil main game bersama pacar baru saya di meja FO, hanya satu dua satker yang datang. Sesekali bernyanyi. Sampai saat ini saya rasa itu menyenangkan.
Bahkan saat mengetik ini, saa duduk manis dengan sang pacar baru di hadapan saya. Sibuk merefresh page situs di komputer. Baca email dan meng-googling. Di meja biasa. Di kursi (bukan) kesayangan saya. Dengan orang-orang yang sama setiap harinya di sebelah meja, seberang meja, dan belakang meja saya. Apa yang mereka kerjakan, saya tidak terlalu peduli. Silakan saja.
Yang saya pikirkan dan pedulikan saat ini adalah satu pertanyaan lewat begitu saja di kepala siang ini. Bunyinya: Lalu untuk apa kamu hidup? Oke, saya ulangi lagi. Untuk apa kamu, Grace, hidup? Untuk apa kamu (diisi nama kamu) hidup?
Pernahkah kamu berpikir serius tentang pertanyaan ini? Saya sering. Hingga kini belum bertemu jawabannya. Sudah pukul 15.15 waktu di komputer saya. Saya juga tidak akan berusaha menjawabnya sekarang. Karena saya sendiri masih belum mau menjawabnya dengan gamblang. Saya hanya kepingin berpikir di dalam diri saya. Kali ini cukup serius. Atau malah lebih tepatnya pura-pura serius dengan hidup saya? Dan lalu, ketika menulis ini, kembali pertanyaan itu berulang, "Untuk apa kamu hidup?"
Ada dua alternatif jawaban. Untuk diri sendiri. Atau untuk orang lain.
Tapi keduanya memiliki konsekuensi. Keduanya bukan sebuah keputusan yang gampang. Keduanya itu semestinya pertanyaan yang ditujukan kepada orang yang cukup dewasa.
Pertama, ketika kamu hanya hidup untuk diri sendiri, perutmu akan gemuk. Kamu akan mati karena jantung atau diabetes. Karena kamu tidak berani membagi cemilan gulamu kepada orang lain.
Kedua, ketika kamu hidup untuk orang lain, kamu akan langsing, kurus dan kere. Kamu tidak akan punya barang dengan milik sendiri. Kamu harus selalu membaginya untuk (kebahagiaan) orang lain.
Tapi bukankah di muka bumi ini tidak ada yang menjadi benar-benar hak milik kita? Semua itu milik Sang Pencipta, Sang Maha Besar. Bahkan hidupmu sekalipun bukan milikmu.
Lalu, untuk apakah kamu hidup?
Bahkan saat mengetik ini, saa duduk manis dengan sang pacar baru di hadapan saya. Sibuk merefresh page situs di komputer. Baca email dan meng-googling. Di meja biasa. Di kursi (bukan) kesayangan saya. Dengan orang-orang yang sama setiap harinya di sebelah meja, seberang meja, dan belakang meja saya. Apa yang mereka kerjakan, saya tidak terlalu peduli. Silakan saja.
Yang saya pikirkan dan pedulikan saat ini adalah satu pertanyaan lewat begitu saja di kepala siang ini. Bunyinya: Lalu untuk apa kamu hidup? Oke, saya ulangi lagi. Untuk apa kamu, Grace, hidup? Untuk apa kamu (diisi nama kamu) hidup?
Pernahkah kamu berpikir serius tentang pertanyaan ini? Saya sering. Hingga kini belum bertemu jawabannya. Sudah pukul 15.15 waktu di komputer saya. Saya juga tidak akan berusaha menjawabnya sekarang. Karena saya sendiri masih belum mau menjawabnya dengan gamblang. Saya hanya kepingin berpikir di dalam diri saya. Kali ini cukup serius. Atau malah lebih tepatnya pura-pura serius dengan hidup saya? Dan lalu, ketika menulis ini, kembali pertanyaan itu berulang, "Untuk apa kamu hidup?"
Ada dua alternatif jawaban. Untuk diri sendiri. Atau untuk orang lain.
Tapi keduanya memiliki konsekuensi. Keduanya bukan sebuah keputusan yang gampang. Keduanya itu semestinya pertanyaan yang ditujukan kepada orang yang cukup dewasa.
Pertama, ketika kamu hanya hidup untuk diri sendiri, perutmu akan gemuk. Kamu akan mati karena jantung atau diabetes. Karena kamu tidak berani membagi cemilan gulamu kepada orang lain.
Kedua, ketika kamu hidup untuk orang lain, kamu akan langsing, kurus dan kere. Kamu tidak akan punya barang dengan milik sendiri. Kamu harus selalu membaginya untuk (kebahagiaan) orang lain.
Tapi bukankah di muka bumi ini tidak ada yang menjadi benar-benar hak milik kita? Semua itu milik Sang Pencipta, Sang Maha Besar. Bahkan hidupmu sekalipun bukan milikmu.
Lalu, untuk apakah kamu hidup?
0 komentar:
Posting Komentar