“Hari
gini makin susah cari kerja! Umur makin tua! Fresh graduate makin banyak. Udah
kemana-mana kok ya ditolak mulu.. Udah hopeless ah, males apply lagi.. Aduh ini
sebenernya gue bakal mau jadi apa ya nanti...?”
“Kalo
gitu mending sekarang nunggu ada laki-laki yang ngelamar aja deh”
“Masalahnya
adalaaaaaah mau kawin juga susyaaaah.. Laki-laki di bumi langka.. Kalopun ada
setengahnya maho, dan setengahnya lagi pasangannya...”
“Pokoknya
gue mesti nikah tahun depan. Kalo ada cowok yang ngelamar, langsung gue terima
dah. Siapa aja!!”
Itu obrolan
para usia 20-an yang hopeless bin absurd banget ya. Tapi memang masalah seperti
inilah yang sedang hangat-hangatnya menjadi topik, soal aktualisasi diri di
pekerjaan, karir, finansial, sampai kehidupan berkeluarga. Tahun 2013 yang baru
berjalan 2 bulan saja, notification Facebook sudah rame dengan undangan
pernikahan. Tak jarang juga saya lihat foto bayi-bayi imut diposting saat saya
membuka akun social media. Nah lho, kapan
giliranmu, Grace? Begitu pertanyaan yang sering dilontarkan oleh orang sekeliling
saya, yang hanya bisa saya jawab dengan tersenyum sambil berkata dalam hati, “Bikin galau binti panik aja nih
orang-orang”.
Sayangnya,
bukan cuma itu saja yang menjadi masalah saya. Tahukah kalian, kalau saya ini
pemalas tulen, dan sialnya beriringan dengan sifat saya yang anti diatur maka kombinasinya
sangat maut. Mungkin jarang ada teman-teman atau bahkan sahabat saya yang tahu,
bahwa saya bisa mengurung diri di rumah selama berhari-hari. Jika seharian
berada di rumah, saya menghabiskan waktu 23 jam saya sehari di dalam kamar.
Satu jam di luar kamar saya habiskan untuk mandi, mengambil makanan dan
minuman, meletakkan piring ke dalam bak cucian, mengambil sapu untuk
membersihkan kamar, dan meletakkannya kembali ke tempat semula. Dan apa yang
saya lakukan di kamar? Tidak lebih hanya membaca buku, mendengarkan musik,
nonton TV atau DVD, browsing internet, main game, bengong sendiri mencari ilham
menulis (yang lalu pada saat beruntung dapat berbuah sebuah blog entry), dan tentunya
TIDUR. Biasanya hal-hal ini saya lakukan saat weekend tidak travelling
kemana-mana. Masih gak percaya? Silakan datang dan lihat sendiri ke rumah saya
di Medan, begitulah saya selama dua bulan ini.
Tapi
belakangan, saya sering terdiam, menatap langit-langit kamar sambil memutar
otak. Saya nggak bisa begini terus. Saya merasa sangat membuang-buang waktu
saya selama ini, terlebih 2 bulan ini tentunya. Entah karena saya melihat
teman-teman saya berkutat dengan dunia pekerjaannya, atau melihat adik saya
paling kecil sedang getol-getolnya belajar biar lulus UN dan masuk SMA Favorit,
atau karena beberapa teman saya lulus melanjutkan kuliah D4-nya dan sibuk
mengurus ini itu yang terkait (FYI, Saya gagal D4 tahun ini, yang menjadi mimpi
saya memang, dan saat ini saya juga sedang belajar bersyukur jika tidak ingin
stress), atau karena belakangan saya sering mendengarkan “WHY GEORGIA”-nya John Mayer (The “Am I living it right?” part is kind of kicking me),
atau mungkin karena saya baru saja selesai menyaksikan perjalanan hidup Chris
Gardner di ”Pursuit of Happiness”.
Either way, saya benar-benar merasa saya
tengah menghabiskan waktu saya dengan percuma.
Ah, iya,
ada lagi! There is also a feeling that I
think I am becoming more anti-social than I have ever been before.
Terkadang saya berpikir tentang kehidupan sosial saya yang semakin lama terasa
semakin sepi. Mungkin karena sejak saya di Medan, selain bersama keluarga, saya
jarang keluar rumah, entah karena memang saya masih pincang, atau karena
sebagian besar teman saya berdomisili di luar Medan,(kalaupun ada yang di Medan
sibuk dengan karir masing-masing), atau karena sinyal hape yang labil, atau
mungkin.....saya memang tengah menghadapi titik yang disebut dengan quarter-life
crisis. Dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan istilah krisis seperempat baya (walapun bagi
saya jadi terdengar makin aneh :s)
Dulu saya
tidak pernah punya masalah mengenai hal-hal seperti ini. Tapi belakangan,
terutama sejak saya berada di rumah, tinggal bersama orang tua, cuti sakit dari
segala rutinitas kantor sudah 2 bulan (well, di satu sisi, saya sebenernya
sangat bersyukur, jarang-jarang saya yang tinggal jauuuuh dari kota kelahiran,
akhirnya bisa ngumpul bareng keluarga segitu lamanya, kalau bukan karena sakit),
simtom demi simtom saya rasakan. Sejujurnya saya ingin berbagi masalah badai
tidak dikenal yang tengah melanda isi kepala saya ini dengan orang lain. Orang tua
tentunya tidak ada dalam daftar sharing-partner saya. They are not used to deal with this kind of problems. It’s too
illogical for them. Pilihan jatuh pada sahabat-sahabat saya. But on second thought, saya memilih
mundur teratur. Masalahnya, yang pertama, adalah semakin lama saya semakin
merasa jauh dengan mereka, orang-orang terbaik saya, entah secara fisik, maupun
secara hati. Saya sendiri tidak tahu apa penyebabnya, atau mungkin ini perasaan
saya saja, huh? Yang kedua, dengan track record saya yang “becanda melulu”
seperti yang sering dibilang oleh teman-teman saya, yang akan saya dapatkan
setelah saya curhat hal ini sialnya, pasti bukan solusi, atau bahkan sekedar
rangkulan di pundak (baik secara langsung ataupun sekedar emot “peluk” di dunia
maya), tapi malah sebuah toyoran di kepala dengan iringan godaan, “Gileeee,
bahasa lo berat banget sekarang! Aaaahh, kebanyakan mikir lo, Greeeeees..”
So, i thought i’d rather look for
the answer by myself
:s
Yang pertama
saya cari adalah defenisi dari istilah “Quarter-life Crisis” itu sendiri. Dan pencarian
membawa saya pertama kali menuju Wikipedia (one of modern-life bible)
The quarter-life crisis is a term
applied to the period of life immediately following the major changes of
adolescence, usually ranging from the early twenties to the early thirties. The
term is named by analogy with mid-life crisis
(kira-kira begini artinya : suatu periode hidup di mana terjadi perubahan
besar pada proses pendewasaan, biasanya terjadi pada sekitar umur awal 20-30an)
OK. Early twenties, eh?
Dan berapa umur saya sekarang? 23 tahun. Kriteria pertama sudah terpenuhi.
Berikutnya, aspek
emosional.
1. Realizing that the pursuits of one's peers
are useless
2. Confronting their own mortality
3. Watching time slowly take its toll on their parents, only to realize they are next
4. Insecurity regarding the fact that their actions are meaningless
5. Insecurity concerning ability to love themselves, let alone another person
6. Insecurity regarding present accomplishments
7. Re-evaluation of close interpersonal relationships
8. Lack of friendships or romantic relationships, sexual frustration, and involuntary celibacy
9. Disappointment with one's job
10. Nostalgia for university, college, high school or elementary school life
11. Tendency to hold stronger opinions
12. Boredom with social interactions
13. Loss of closeness to high school and college friends
14. Financially-rooted stress (overwhelming college loans, unanticipatedly high cost of living, etc.
15. Loneliness, depression and suicidal tendencies
16. Desire to have children
17. A sense that everyone is, somehow, doing better than you
18. Frustration with social skills
2. Confronting their own mortality
3. Watching time slowly take its toll on their parents, only to realize they are next
4. Insecurity regarding the fact that their actions are meaningless
5. Insecurity concerning ability to love themselves, let alone another person
6. Insecurity regarding present accomplishments
7. Re-evaluation of close interpersonal relationships
8. Lack of friendships or romantic relationships, sexual frustration, and involuntary celibacy
9. Disappointment with one's job
10. Nostalgia for university, college, high school or elementary school life
11. Tendency to hold stronger opinions
12. Boredom with social interactions
13. Loss of closeness to high school and college friends
14. Financially-rooted stress (overwhelming college loans, unanticipatedly high cost of living, etc.
15. Loneliness, depression and suicidal tendencies
16. Desire to have children
17. A sense that everyone is, somehow, doing better than you
18. Frustration with social skills
Artikel berbahasa Indonesia yang membahas QLC ini
menyebutkan ciri-ciri yang sama, yaitu:
- merasa tidak cukup baik karena tidak menemukan pekerjaan yang senilai dengan level akademiknya
- rasa frustasi pada hubungan antarmanusia, dunia kerja dan proses menemukan pekerjaan/karir
- kebingungan pada identitas diri
- rasa ketakutan akan masa depan
- rasa ketakutan pada rencana jangka panjang dan tujuan hidup
- rasa ketakutan pada keputusan saat ini
- peninjauan kembali akan hubungan dekat saat ini
- kekecewaan pada pekerjaan
- nostalgia pada kehidupan kuliah bahkan masa sekolah
- kecenderungan untuk memilih opini-opini yang lebih kuat
- kebosanan pada interaksi sosial
- kehilangan keakraban pada teman sekolah/kuliah
- stress finansial (beban ‘membayar kembali’ biaya kuliah, mulai memikirkan besarnya biaya hidup, dll)
- kesepian
- keinginan memiliki keluarga/anak
- perasaan bahwa semua orang melakukan hal yang lebih baik darimu
- status fresh graduate alias ‘tidak punya pengalaman kerja’ hingga terjebak pada pekerjaan-pekerjaan membosankan yang tidak sesuai dengan keahlian intelektual
Hampir seluruhnya! Kedua mata saya tidak berhenti
menatap serentetan daftar aspek emosional itu. Bener saja. QLC!! Detik
berikutnya, saya hanya bisa geleng-geleng kepala sendiri.
Berikutnya, aspek finansial dan profesional.
A primary cause of the stress associated
with the "quarter-life crisis" is financial in nature; most
professions have become highly competitive in recent years.
I was like. Yeah, so right.
Sejujurnya, saya bukan tipe orang yang mengkonsumsi
materi berbau psikologis. (“Chicken Soup” dan “Seven Habbits bla bla bla..”
saja belum selesai juga saya baca-itupun jika buku itu masuk kategori buku
psikologis) Tapi kali ini saya mencari beberapa artikel dan menemukan
sebuah kalimat yang makjleb kalau istilah saya.
“Beranjak dewasa dan memikirkan bagaimana masa depan
Anda akan terasa menyakitkan, terutama dalam masa quarter life
crisis. Namun, ini merupakan hal alamiah.” –Deborah Smith,
Professor Sosiologi di University of Missouri, Kansas City.-
Dalam artikel ini, sang profesor juga menuturkan,
banyak orang mengalami kecemasan di usia 20-an karena usia tersebut adalah masa
pertama kali mereka menjalani kehidupan sesungguhnya. Di benaknya, ini bukanlah
suatu krisis, tapi merupakan keputusan, tekanan, dan perubahan pada fase
kehidupan.
Saya setuju dengan kata-kata Smith, QLC adalah fase
kehidupan yang harus dijalani.
Oleh karena itu, setelah membaca artikel ini, saya
merasa sudah cukup. Mencari jawaban bagaimana mengatasinya merupakan hal
percuma buat saya. Merengek-rengek minta oom Google yang menelusuri, sama saja tidak
ditemukan tips atau panduan khusus menghadapi fase ini. Percuma saja toh? Lagipula,
sedari kecil saya terbiasa mencari jalan keluar akan masalah saya dengan cara
saya sendiri. Walaupun begitu, I am still
thankful for some advices. Singkatnya, saya putuskan untuk menutup semua
tab Mozzila Firefox terkait QLC ini.
Defenisi dan konfirmasi sudah cukup. Kemudian, saya
merenung sejenak dan berdoa. Cara mengatasi biarlah saya putuskan setelah ini.
And here is the list of my quickest solutions that I
can make :
1. Managing the daily to-do list (just
like the old days back there)
2. Getting back with a nice life pattern (no more “bolong” Bible Reading, Sa-Te, and praying time, talking about a less-midnight staying-up and late-afternoon soberness, more laughter, more water consumption, less meat more vegetables, more writing, less day-dreaming, -etc)
3. Arranging some regular best friends gathering (traveller group, maybe? ;))
4. Loving my job and the town (still trying)
2. Getting back with a nice life pattern (no more “bolong” Bible Reading, Sa-Te, and praying time, talking about a less-midnight staying-up and late-afternoon soberness, more laughter, more water consumption, less meat more vegetables, more writing, less day-dreaming, -etc)
3. Arranging some regular best friends gathering (traveller group, maybe? ;))
4. Loving my job and the town (still trying)
5. Coming back to join with
Children Service at the church in my town
6. Preparing myself to be A Godly Woman for A Godly Man (in characters, faith, life style, and the way of thinking)
And the most important:
6. Trying
hard to get scholarship. SOON.
Wish me luck!! :)
Grace,
*Have got the same feeling, huh? Whatever! God has taught me to say, IT IS WELL WITH MY SOUL :)