“Terlalu nyaman
di Medan. Bahaya tampaknya :|” – Status
BBM saya, 8 Februari 2013, pukul 22.00 WIB
sepenggal chat dari Josep yang saya munchscreen |
Keluar dari kota nyaman.
Boleh saya katakan sebagai zona nyaman juga? Zona nyaman itu
seperti kamar tidur kita ketika di rumah, rumah kita ketika berada di
lingkungan masyarakat, kota kita ketika kita berada di lingkup provinsi, provinsi
kita ketika berada di lingkup Negara, dan itu hanya kesimpulan saya saja dari
obrolan absurd tengah malam bersama tiga orang teman saya malam itu. Josep dan
Rumanty yang keduanya sama-sama tertohok, dan Niko, seorang teman (yang
sebenernya temannya teman) saya, berasal dari Kediri, yang saya juga belum
pernah bertemu dengannya, tapi kami sudah sering mengobrolkan banyak hal.
Terakhir kemarin malam, saat dia curhat sudah tidak lagi di Medan, sekarang
berpindah tugas di Dumai, dan mengeluhkan tantangan yang dihadapinya di tempat
baru.
Benar mungkin kata Josep, zona nyaman saya rasa bukan
membuat seseorang malu melakukan sesuatu hal, tapi saat berada di dalam zona
nyaman, mungkin kita tidak akan berkembang, tidak kreatif, dan membuang
beberapa kesempatan.
Kesempatan mengejar impian. Kesempatan berkarya. Kesempatan
yang kadangkala tidak kita dapatkan ketika masih berkutat di zona nyaman.
"Plato, seorang filsuf besar dunia pernah bilang bahwa
nantinya dalam kehidupannya setiap manusia akan terjebak dalam sebuah gua gelap
yang berisi keteraturan kemapanan, dan mereka senang berada di dalamnya. Karena
mereka terbuai dengan segala kesenangan di sana dengan apa yang telah mereka
capai, hingga akhirnya mereka takut keluar dari gua tersebut. Mereka memang
bahagia, tetapi diri mereka kosong dan mereka nggak pernah menemukan siapa diri
mereka sebenarnya... mereka nggak punya mimpi." -5 Cm, Donny
Dhirgantoro
Ketika kembali mengobrol dengan Rumanty, terbersit
ketakutannya untuk berlari dari zona nyamannya. Semacam perasaan ketika menolak
meninggalkan rumah ketika hari pertama pergi ke Sekolah Dasar, atau perasaan
ketika menolak untuk melepas dekapan ibu ketika meninggalkannya untuk “merantau”
“Merantau”. Menemukan
sesuatu yang tidak dicari. Atau mencari sesuatu yang tidak dimengerti. Pergi
untuk entah. *Ahh, saya mendefenisikannya terlalu lebay mungkin. Hehehehee..
Bagi saya merantau itu adalah sebuah “perjalanan” untuk
“menemukan”.
Ketika kau melakukan perjalanan, kemanapun kau pergi, dengan
siapa kau berada, sendiri atau bersama orang lain, kau telah merantau. Kemudian
ketika perjalanan itu kau lakukan, kau akan menemukan sesuatu, entah itu
sesuatu yang kelihatan atau sesuatu yang tidak kelihatan. Ketika itulah kau
telah merantau.
Sepertinya hidup saya dipenuhi dengan merantau, saya banyak
melakukan “perjalanan” dari mulai tinggal di rumah orangtua, rumah kakek nenek saya, rumah
tante saya, asrama, kos-kosan, dan rumah dinas kantor saya. Melakukan
“perjalanan” sudah menjadi bagian dari hidup saya. Mereka membuat saya
hidup.
Sudah sebulan lebih belakangan ini, saya berada di rumah,
beristirahat, tidak melakukan aktivitas apapun yang cukup berarti. Seorang
kakak kelas saya mengatakan mungkin saya sudah lama tidak melakukan “perjalanan”.
Ya, memang seringkali perasaan rindu akan sebuah perjalanan menghinggapi
pikiran saya akhir-akhir ini. Saya merindukan pikiran impulsif untuk pergi ke
suatu tempat, kenekadan untuk bisa sampai kesana, entah itu bau asap kendaraan
lalu lalang, debur ombak, atau bau embun pagi di atas gunung. Perjalanan yang
lebih banyak saya lakukan untuk melarikan diri. Yang sudah lama memang tidak
saya lakukan.
gambar diambil secara acak dari google |
Bodohnya saya, saya tak sadar, bahwa sekarangpun saya sedang
melakukan sebuah perjalanan. Menuju sebuah fase baru dalam hidup saya. Perjalanan
yang sesungguhnya bukanlah berapa kota yang telah disinggahi, melainkan sampai
sejauh mana hati bisa dibawa pergi. Tidak melulu untuk menghindari, melainkan
menyongsong apa yang akan ditemui
Keputusan untuk kemudian sekolah keluar, sejak lulus SMP,
ini merupakan salah satu bentuk “perjalanan” yang saya lakukan. Akhirnya saat
ini, sudah lebih dari delapan tahun saya di luar. Saya banyak “menemukan”. Temuan-temuan tersebut kemudian membentuk
pribadi saya, mempengaruhi cara berpikir, bersikap, berperilaku. Saya menemukan
banyak pengalaman-pengalaman yang akhirnya membuat saya mengerti bagaimana
caranya supaya lebih luwes menghadapi kehidupan.
Kenapa lebih luwes? Saya pikir ketika “merantau”, kau akan
banyak bertemu dengan sisi liar kehidupan, dan sisi liar itu kadang bisa
ditaklukan, bisa juga diajak berteman. Disinilah keluwesanmu akan teruji. Bukan
hanya soal cerdas menghadapi hidup, namun juga kreatif. “Perjalanan” yang
dilakukan akhirnya membuat saya “menemukan” makna dari hidup itu sendiri. Untuk
itu, saya sangat berterima kasih kepada merantau. Kalau tidak percaya, silakan
uji dirimu sendiri, pergilah dan mulai lakukan “perjalanan”.
Sepertinya berlama-lama di rumah sempat membawa saya
melayangkan pikiran untuk tetap “tinggal” saja di sini. Hati saya serasa
berpasir saat memikirkan nanti harus kembali lagi ke tempat saya bekerja.
Ah, “merantau” lagi, saya lelah, Tuhan. Masih banyak yang ingin saya
lakukan di kampung halaman saya, disini saja boleh? Pikir saya begitu.
Kota baru, status
baru, pekerjaan baru, dan atasan baru. Sudah agak basi untuk mengatakan baru,
ketika saya sudah menjalaninya lebih dari setahun. Tapi memang begitulah buat saya,
semua masih terasa baru. Saya masih gamang, bahkan seringkali saya tergagap. Sepertinya
saya terlalu lama berkutat di zona nyaman. Apa yang saya songsong, dan apa yang
saya tinggalkan tarik menarik menimbulkan kebimbangan. Saya lupa, hidup itu
maju, dan masa lalu tertinggal jauh di belakang. Seolah saya juga lupa akan
quotes yang selalu saya jadikan pedoman “Life begins at the end of your comfort zone” seperti yang pernah saya tulis
sebelumnya.
Kita memang tak bisa selamanya diam, stagnan. Semua
bergerak, berjalan. Kita memang harus bergerak dan banyak belajar bahkan di
luar zona nyaman kita.
Merantau di luar, juga membuat saya “menemukan” apa yang
menjadi passion saya. Passion saya yang adalah: mencipta. Saya akan
mencipta sesuatu dengan kedua tangan saya. Karena saya percaya, setiap kita
adalah pencipta-pencipta kecil, yang mampu membuat Surga di bumi, dengan tangan
kecil kita, yang kosong dan miskin ini.
Tidak ada yang perlu ditakutkan
sebenarnya. Ada ALLAH yang telah, sedang, dan akan terus berjalan bersama-sama
dengan kita.
Dua puluh tiga tahun. Sekian cerita dan masih tidak
berhenti. Hingga nanti.
0 komentar:
Posting Komentar