Wajah Jakarta adalah bocah-bocah yang hilir mudik memainkan
kecrekan
sambil menempelkan wajah di jendela mobil pada suatu siang yang panas
terik, sementara tak jauh dari situ seorang bayi kurus menggeliat dalam
gendongan seorang perempuan di perempatan lampu merah.
Wajah
Jakarta adalah tongkat bergagang besi yang mengoreki tempat sampah
semen. Pemiliknya adalah pemulung yang harap-harap cemas berebut rezeki
dengan kucing gendut, tikus got dan lalat.
Wajah Jakarta adalah
aroma menyengat di bantaran sungai yang berbatasan dengan tempat
pembuangan sampah dan rumah-rumah berdinding papan. Bila kau pasang
telingamu baik-baik, dapat kau dengar dari dalam isakan bocah perempuan
yang sudah dua hari panas demam.
Wajah Jakarta adalah pisau
dingin berkarat yang dipakai menakut-nakuti pelajar berseragam dan
wanita berkalung emas di angkutan kota. Sebuah pelajaran berharga bisa
kau petik dari sana: jangan menaruh HP di saku celana, jangan memakai
perhiasan di dalam bis, dan simpan dompetmu jauh-jauh di tempat yang tak
terogoh.
Wajah Jakarta adalah pengamen yang bernyanyi sumbang di
bis oranye sambil menadahkan kantung bekas keripik dan preman yang
menadahkan tangan minta uang dengan paksa. Pelajaran berharga kedua:
selalu siapkan recehan lebih dari cukup. Kita tak pernah tahu.
Wajah
Jakarta adalah kelelahan yang menggurat wajah seorang laki-laki
berkemeja lengan panjang dengan map berisi surat lamaran kerja yang
mulai lecek setelah ditenteng seharian. Di rumah, anak-istrinya menunggu
dengan penuh harap.
Hari ini Ayah pasti pulang bawa rejeki.
Wajah
Jakarta adalah letusan kembang api yang gegap-gempita membelah angkasa
dan bisa kau saksikan dari jarak belasan kilometer pada malam pergantian
tahun, yang kata tetangga sebelah, “Nggak mahal kok, delapan juta aja.”
Wajah
Jakarta adalah jendela-jendela mobil yang kacanya dihitamkan sehingga
mustahil untuk sekadar diintip. Hawa di dalam situ tak pernah segarang
terik matahari. Udaranya sejuk dan selalu wangi parfum, dan selalu
tersedia air mineral penangkal dahaga jika kau haus.
Wajah
Jakarta adalah bocah-bocah berseragam yang menenteng telepon genggam dan
permainan elektronik, sementara pengasuhnya berjalan di belakang
membawakan tas sekolah, botol minum, dan kotak bekal makanan.
Wajah Jakarta adalah remaja belasan tahun bergaya Harajuku yang sakunya terisi kartu kredit warisan orang tua dan
Blackberry seri terkini yang baru saja di-
upgrade. Dan jangan lupakan Louis Vuitton KW-1 yang sesekali mereka tenteng dalam gaya yang berbeda.
Wajah
Jakarta adalah butik berskala internasional yang dengan mudah kau temui
di pusat perbelanjaan raksasa, yang menempelkan label puluhan hingga
ratusan juta pada sebuah tas cantik dari kulit.
Wajah Jakarta
adalah langkah tergesa kaki-kaki yang dibungkus sepatu berhak tinggi dan
pantofel berkilap yang bersanding dengan tangan-tangan menengadah di
jembatan penyeberangan.
Wajah Jakarta adalah gemerlap lampu
warna-warni yang berpendar diiringi musik menghentak dan cairan merah di
gelas-gelas kristal dalam geliat malam yang masih muda.
Wajah
Jakarta adalah anak laki-laki berbaju kusam yang menatap iri saat kita
bergandengan tangan menyusuri trotoar di sebuah malam minggu sambil
makan es krim. Wajah Jakarta adalah senyumnya yang terkembang saat kau
gandeng tangan mungilnya ke abang penjual es dan mempersilakannya
memilih rasa yang ia suka.
Wajah Jakarta adalah pengemis berkaki
buntung yang tak henti-henti mengucapkan terima kasih saat kau
cemplungkan selembar ribuan ke gelas plastiknya. Dalam syukurnya ada doa
agar panjang umurmu selalu.
Wajah Jakarta adalah anggukan tulus
pedagang kaki lima saat kau bayarkan sejumlah rupiah sebagai penglaris
jualannya pagi ini tanpa minta kembalian.
Tahukah kau apa yang
terlintas di benakku kemarin, saat mengunjungi Jakarta, menelusuri jalanannya di tengah teriknya siang dan gemerlapnya malam, melihat pencakar-pencakar langitnya dari kaca gedung bertingkat tempat saya
menghabiskan 3 hari Sosialisasi?
Jakarta sesungguhnya tak pernah miskin. Ia hanya lupa menoleh pada yang terpinggir.
(suatu sore, dengan langit berwarna kuning keemasan, jauh dari keramaian ibukota dan sekarang begitu merindukannya)
|
COOL STAN 2007 |
|
Terimakasih atas tiap sharing dan doanya yang menguatkan saya di perantauan |
PS: Terimakasih untuk waktu 5 hari kemarin saya bisa mencicipi Wajah Jakarta dari segala sisi. Dan bisa melihat wajah-wajah orang terbaik saya yang ada di poto ini di Jakarta kembali. Doaku dimana pun kita berada, semoga menjadi berkat tidak hanya bagi Jakarta, tapi bagi Indonesia. Mari sama-sama berjuang. You'll never walk alone :)