“Mungkin sakit hati itu adalah ketidakmampuan untuk mengasihi, mengampuni dan melupakan.”
Suatu
ketika saya pernah menulis begini di status twitter.
Mengaku sedang sakit hati itu butuh keberanian. Bukan hanya sekedar mengaku kepada diri sendiri, tapi bagaimana suatu hari nanti bisa mengobrol dengan seseorang yang telah atau pernah membuatmu sakit hati—itu persoalan yang mungkin juga tidak gampang.
Mengaku sedang sakit hati itu butuh keberanian. Bukan hanya sekedar mengaku kepada diri sendiri, tapi bagaimana suatu hari nanti bisa mengobrol dengan seseorang yang telah atau pernah membuatmu sakit hati—itu persoalan yang mungkin juga tidak gampang.
Biasanya
ketika sakit hati, respon saya bisa sangat pahit—entah itu karena
memang saya terlalu lama menyimpan marah, menyimpan tersinggung, atau
menyimpan benci. Mereka kemudian mengendap di dalam hati saya—beku di
sana. Ketika ada yang menyinggung kembali, kebekuan yang belum selesai
tadi akan menjadi sesuatu.
Saya
pernah bilang kalau saya menyukai kopi hitam kental. Saya suka kopi
hitam kental yang manis karena akan menghilangkan rasa pahitnya.
Tapi memang pada dasarnya, merasakan sesuatu yang pahit itu akan
membuatmu merasa bersyukur akan hadirnya rasa manis—kenapa dari sakit
hati langsung loncat ke kopi? Karena begini: ketika kita memutuskan untuk sakit hati, sebenarnya kita memutuskan untuk menyimpan pahit.
Efek
lain yang saya rasa ketika menyimpan pahit adalah saya berubah menjadi
sangat galak—aslinya saya memang galak, ya begitulah, beberapa orang
yang dekat dengan saya sangat tahu hal itu. Tapi yang terjadi adalah
kali ini saya begitu galak terhadap hal-hal yang saya sendiri tidak
paham. Saya sendiri tidak bisa berbohong kalau sedang galak. Paling
tidak hal ini akan kelihatan dari tulisan-tulisan saya.
Bisa
jadi tulisan galak berasal dari hati yang sedang pahit. Atau perkataan
galak berasal dari hati yang sedang pahit. Mungkin begitu, lagi-lagi ini
hanya kesimpulan dungu saya.
Hingga
suatu hari, saya pernah menulis satu posting yang tadinya saya pikir
hendak saya publish—ah, bagi saya menulis dengan jujur itu begitu
hakiki. Dan tentu saja, ketika saya baca tulisan itu saya terkaget-kaget
sendiri. Karena saya begitu galak.
Di
hari itu juga, selesai mandi dan hendak berkemas-kemas. Tiba-tiba saya
diingatkan tentang seseorang, bahkan inisialnya saja tidak mau—tidak
perlu saya sebutkan di sini. Lalu suara di dalam hati saya begitu keras
dan bilang begini “Ampuni dia. Tak usah publish tulisan yang tadi kamu
buat.” “Tapi kenapa?” saya bertanya—sedikit keras kepala. “Ampuni saja
dia, Grace.” Kata suara itu lagi. Sejujurnya, saya tidak mau—belum mau. Atau belum bisa(?)
Tapi yang saya lakukan adalah saya menundukkan kepala dan berbisik pelan..
“Saya ampuni, kamu.”
Apapun
yang saat ini ada di hati, memang tidak segera reda juga. Saya pun sadar tidak bisa berdiam begini terus, suatu saat harus diomongkan. Diklarifikasi. Agar kepahitan dan sakit hati tidak mengakar dan membusuk di hati. Tapi yang pasti,
tulisan yang saya sengaja buat untuknya, tidak jadi saya publish. Semoga
tidak sekarang ataupun nanti.
LOVE,
Grace
0 komentar:
Posting Komentar