Kenapa setiap orang tidak tumbuh saja menjadi seperti apa dia. Tanpa perlu didefinisikan. Ia hanya perlu tumbuh menjadi seperti apa dia. Ia tidak perlu memaksakan dirinya untuk menjadi “sama” dengan orang lain. Untuk menjadi seperti apa yang orang lain “mau” pikirkan tentangnya.
Kenapa ketika bertemu dengan
orang, kita tidak menerima orang itu apa adanya saja. Tanpa perlu melihat
dia siapa. Tanpa perlu tahu kepentingannya apa. Tanpa peduli amat keuntungan
dia buat saya apa. Hanya sekedar berkenalan. Hanya sekedar saling menghormati.
Hanya sekedar mengobrol asik.
Hidup yang tanpa basa-basi.
Hidup yang tanpa bertanya: keuntungan dia buat saya apa.
Sudah jarang sekali saya
mendapati orang yang seperti itu. Sudah jarang sekali, saya sendiri
memperlakukan orang seperti itu. Yang terjadi pada saat ini adalah saya
berkenalan dengan orang baru sebagai sebuah iming-iming “membangun jaringan.” Ataupun akhir-akhir ini saya terlalu banyak berpura-pura hanya demi rasa ke-"tidak-enakan".
Ataupun sebaliknya ketika orang
berkenalan dengan saya, karena saya adalah seseorang yang bisa membawa
keuntungan bagi mereka. Atau mungkin saya bisa membawa kepentingan buat mereka. (Benar begitukah?)
Untuk itu kita diajarkan banyak
hal tentang “basa basi” ketika mengobrol dengan seseorang. Kita perlu untuk
hanya sekedar berbasa-basi sebentar dan kemudian baru masuk ke inti persoalan.Itu pun jika memang akhirnya tidak menjadi basi beneran.
Hal ini kemudian coba saya
obrolkan dengan ibu saya, dan kemudian dia berpendapat bahwa “keramahan”
adalah sebuah nilai yang sangat diagungkan. Karena kita Indonesia. Karena sejak
dulu memang kita telah diajarkan untuk senantiasa “ramah” kepada siapapun
termasuk orang yang tidak kita kenal.
Tapi hal ini kemudian hanya
menjadi sesuatu yang indah di “permukaan.” Keramahan itu sendiri hanya sebagai
pemoles dalam bersikap. Seperti lipstik merah yang biasa saya pakai. Hanya
sekedar pemanis.
Kenapa kita melakukannya:
karena kita tidak ingin dinilai jutek, pemurung, menyebalkan atau apalah.
Haha. Bahasan ini kemudian
semakin menarik. Karena apapun yang kita lakukan terhadap orang lain. Selalu
erat hubungannya dengan penilaian orang lain terhadap kita. Penilaian yang baik
menjadi tujuan. Dan selalu ingin dilihat “baik-baik” menjadi sebuah pencapaian.
Saya berpikir bahwa, terlalu
dangkal jika yang kita kejar dalam hidup adalah supaya kita terus-terusan
menyenangkan orang lain dengan apa yang kita lakukan. Kita “baik-baik”, selalu
bisa ber”basa-basi”, selalu “ramah” dengan orang lain hanya karena kita takut.
Takut dinilai buruk oleh orang lain.
Padahal tidak perlu.
Terkadang saya juga iri melihat seorang teman saya yang sanggup mengutarakan isi pikirannya secara lugas, tanpa "basa-basi". Sekalipun itu menyakitkan. Sekalipun beresiko.
Terkadang saya juga iri melihat seorang teman saya yang sanggup mengutarakan isi pikirannya secara lugas, tanpa "basa-basi". Sekalipun itu menyakitkan. Sekalipun beresiko.
Ah, saya ingin memandang segala
sesuatu lebih sederhana. Bagaimana jika ketika bertemu orang, kita ramah karena
keramahan itu memang ada di dalam kita. Tetapi sebaliknya ketika bertemu dengan
orang yang nyebelin, kita juga bisa
menunjukkan bahwa kita tidak suka. Dan bahwa kita juga bisa nyebelin. Haha.
Musuh mencium kita berkali-kali. Tetapi sahabat menampar kita dengan cinta kasih
0 komentar:
Posting Komentar